Atman Widya
1 Pengertian Atman
Atman adalah sinar suci / bagian terkecil dari Brahman ( Tuhan Yang Maha Esa ).
Atman berasal dari kata AN yang berarti bernafas. Setiap yang bernafas
mempunyai atman, sehingga mereka dapat hidup. Atman adalah hidupnya semua
makluk ( manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya ). Kitab suci Bhagawad gita
menyebutkan sebagai berikut :
“aham atma gudakeda,
sarwabhutasyaathi, aham adis camadhyam ca, bhutanam anta eva ca”
artinya :
O, Arjuna, aku adalah atma,
menetap dalam hati semua makluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir
daripada semua makluk.
Dari kutipan sloka diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa atman itu merupakan
bagian dari Tuhan ( Sang Hyang Widi ). Bila Tuhan diibaratkan lautan maka atman
itu hanyalah setitik uap embun dari uap airnya. Bila Tuhan diibaratkan matahari
maka atman itu merupakan percikan terkecil dari sinarnya. Demikianlah Tuhan
asal atman sehingga Ia diberi gelar Paramatman yaitu atma yang tertinggi. Atman
berasal dari Tuhan maka pada akhirnya atman kembali kepadanya. Seperti halnya
setitik uap air laut yang kembali kelaut saat hujan turun, (Sudirga, Ida Bagus.2003;71). Jivatman adalah atman yang
telah masuk kedalam tubuh (wadah), memberikan kekuatan dan hidup. Dan apabila mati
atman akan keluar daru tubuh (wadah) dan disebut Roh.
Beda
Atma dengan Roh
Di masyarakat ( khusus umat hindu di
Bali ) sering salah kaprah mengenai pengertian atma / atman, dan dari
pengertian tsb. seolah-olah atma orang yang telah meninggal menerima akibat
dari semua perbuatannya selama hidup di mayapada ini.
Sesungguhnya Atma adalah sebuah "energi-hidup" yang bersumber dari Paramaatma ( sumber dari segala sumber hidup ), semua yang hidup memiliki atma; pada manusia disebut Jiwatman, pada binatang disebut Janggama dan pada tumbuhan disebut Sthawana.
Roh ( jiwa ) adalah gabungan dari Panca Tan Matra + Hredaya ( citta, budhi, manah dan ahamkara ) dan untuk kemudian kita yakini bahwa roh orang mati masih hidup di alam yang lain, oleh karenanya didalam roh tersebut ada atma.
Dengan sedikit penjelasan ini tentu membuka sedikit pengertian mengenai beda Atma dengan Roh, mudah-mudahan bermanfaat !!
Sesungguhnya Atma adalah sebuah "energi-hidup" yang bersumber dari Paramaatma ( sumber dari segala sumber hidup ), semua yang hidup memiliki atma; pada manusia disebut Jiwatman, pada binatang disebut Janggama dan pada tumbuhan disebut Sthawana.
Roh ( jiwa ) adalah gabungan dari Panca Tan Matra + Hredaya ( citta, budhi, manah dan ahamkara ) dan untuk kemudian kita yakini bahwa roh orang mati masih hidup di alam yang lain, oleh karenanya didalam roh tersebut ada atma.
Dengan sedikit penjelasan ini tentu membuka sedikit pengertian mengenai beda Atma dengan Roh, mudah-mudahan bermanfaat !!
Penyucian Roh (Atma)
1.
Tujuan mensucikan roh (atma) adalah untuk menunggalkan roh (atma) dengan
penciptanya, yaitu Ida Sanghyang Parama Kawi yang juga disebut sebagai Brahman
atau Parama-atma.
2.
Ketika masih hidup: tubuh dibersihkan dengan air; pikiran dibersihkan dengan
kejujuran; jiwa dibersihkan dengan ilmu dan tapa (tapa = usaha untuk
mengendalikan nafsu dan jasmani); akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Dapat
juga dikatakan bahwa ketika masih hidup upaya mensucikan atman dilaksanakan
dengan mengekang/ mengendalikan panca indria dengan cara menguatkan tapa
- berata – yoga – samadi.
3.
Setelah meninggal dunia, melalui upacara Ngaben, atma dilepaskan dari bungkusan
pertama, yaitu ikatan Stula Sarira (Panca Mahabuta), dan melalui upacara
Nyekah, atma dilepaskan dari bungkusan kedua, yaitu ikatan Suksma Sarira (Panca
Tanmatra).
4.
Yang dimaksud dengan Panca Mahabuta adalah:
- Pertiwi : tanah, bagian tubuh yang padat
- Apah : air, bagian tubuh yang cair
- Teja : api, bagian tubuh yang bersuhu panas
- Bayu : angin, bagian tubuh yang berangin/ nafas
- Akasa : ether, bagian tubuh yang terhalus: rambut,
syaraf, kuku dll
5.
Yang dimaksud dengan Panca Tanmatra adalah:
- Ganda Tanmatra : pengaruh indra penciuman di
hidung terhadap pergerakan bagian tubuh yang padat terutama yang
menggerakkan kaki.
- Rasa Tanmatra : pengaruh indra perasa di
lidah terhadap pergerakan bagian tubuh yang cair yaitu perut dan dubur.
- Rupa Tanmatra : pengaruh indra penglihatan di
mata (yang panas) terhadap pergerakan bagian tubuh terutama tangan
- Sparsa Tanmatra : pengaruh indra perasa di kulit
terhadap pergerakan bagian tubuh yang berangin (nafas) terutama kehidupan
sex
- Sabda Tanmatra : pengaruh indra pendengaran yang
diterima oleh telinga terhadap bagian tubuh yang terhalus terutama syaraf
yang menggerakan mulut dan pikiran.
6.
Setelah atma dilepaskan dari bungkusan pertama dan kedua, atau dibebaskan dari kedua
ikatan yaitu Panca Mahabuta dan Panca Tanmatra (Tanmatra = tidak kelihatan,
tetapi dapat dirasakan) maka tinggalah Panca Karmaindria atau Karma Wasana,
yaitu:
- Padaindria: karma wasana karena
langkah kaki.
- Payuindria: karma wasana karena
makanan.
- Panenindria: karma wasana
karena gerakan tangan
- Upastenindria: karma wasana
karena kehidupan sex
- Wakindria: karma wasana karena
ucapan perkataan yang keluar dari mulut dan karma wasana karena pemikiran
7.
Karma Wasana terus melekat pada atman, dan pada waktu upacara Mepaingkup, Karma
Wasana inilah yang dinilai oleh Ida Sanghyang Parama Kawi untuk menetapkan
kehidupan atman selanjutnya, apakah ber-reinkarnasi atau menyatu dengan-Nya.
8.
Pemahaman ini dapat digambarkan sebagai berikut:
PANCA
MAHABUTA
|
PANCA
TANMATRA
|
PANCA
KARMENDRIA
|
Pertiwi
Apah Teja Bayu Akasa |
Ganda
Tanmatra
Rasa Tanmatra Rupa Tanmatra Sparsa Tanmatra Sabda Tanmatra |
Padendria
Payundria Panendria Upastendria Wakindria |
Musnah
ketika Ngaben
|
Musnah
ketika Nyekah
|
Sisa
= Karmawasana
|
Doa Menenangkan Atma
Puja-nya
sebagai berikut:
OM AYANTU
PITARA DEWAH
AYANTU PITARA GANEM
AYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
AYANTU PITARA GANEM
AYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM
LEPIYANTU PITARA DEWAH
LEPIYANTU PITARA GANEM
LEPIYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
LEPIYANTU PITARA GANEM
LEPIYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM
BAJRANTU PITARA DEWAH
BAJRANTU PITARA GANEM
BAJRANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
BAJRANTU PITARA GANEM
BAJRANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM
PUSPANTU PITARA DEWAH
PUSPANTU PITARA GANEM
PUSPANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
PUSPANTU PITARA GANEM
PUSPANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM TOYANTU
PITARA DEWAH
TOYANTU PITARA GANEM
TOYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
TOYANTU PITARA GANEM
TOYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM
BAGIANTU PITARA DEWAH
BAGIANTU PITARA GANEM
BAGIANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
BAGIANTU PITARA GANEM
BAGIANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM
MOKSAHNTU, SWARGANTU, KSAMANTU, MURCANTU, SUNIANTU,
YA NAMA SIWAYA
YA NAMA SIWAYA
Artinya:
Tuhan, Hamba sudah memberikan upacara (ayantu) dan upakara (lepiyantu) kepada
sang roh (pitara). Persembahan hamba berupa suara gentha (bajra), bunga
(puspa), dan air (toya), mohon rohnya diberi kebahagiaan (bagaiantu),
ketenangan di dalam-Mu (moksantu), di sorga (swargantu), di keheningan alam
(ksamantu-murcantu-suniantu), semata-mata atas kebesaran-Mu (nama siwaya) !
2.1.2 Fungsi Atman
Dalam hubungannya dengan maya, atman itu seolah – olah “terkurung” atau
terbelenggu. Sehingga atman memiliki tiga fungsi, yaitu :
a)
Sebagai sumber hidup citta dan sthula sariranya makluk. Citta adalah alam
pikiran, meliputi pikiran atau akal, perasaan kemauan inderanya dan instuisi.
Sedangkan sthula sarira adalah badan wadah seperti darah, daging, tulang,
lender, otot, sumsum, otak, dan sbagainya.
b)
Bertanggung jawab atas baik buruk atau amal dosa dari segala karmanya makluk
yang bersangkutan.
c)
Menjadi tenaga hidup dari suksma sariranya makluk yang bersangkutan,(Sudirga,
Ida Bagus.2003.73)
Sama halnya yang ada dalam modul
srada yang menyebutkan ada tiga fungsi atman yaitu sebagai sumber hidup,
sebagai yang bertanggung jawab atas karmawasana setiap manusia dan sebagai
pemberi tenaga kehidupan.
2.1.3 Sifat – Sifat
Atman
Atman merupakan bagian dari Tuhan / tunggal adanya dengan Tuhan. Seperti halnya
Tuhan yang memiliki sifat – sifat khusus, atman juga mempunyai sifat –sifat,
seperti yang tertuang dalam Kitab Bhagawad Gita, yakni :
“na jayate mriyate va
kadacin
nayam bhutva bhavita van a
bhuyah
ajo nitya sasvato yam purano
na hayate hayamane sarire” (Bhagawad Gita II.20)
artinya :
Ia tidak pernah lahir dan juga
tidak pernah mati atau setelah ada tak akan berhenti ada. Ia tak dilahirkan,
kekal, abadi, sejak dahulu ada; dan Dia tidak mati pada saat badan jasmani ini
mati.
“nai nam chindanti sastrani
nai namdahati pawakah
na cai nam kledayanty apo
na sosayati marutah” (Bhagawad Gita II.23)
artinya :
Senjata tak dapat melukai-Nya,
dan api tak dapat membakar-Nya, angin tak dapat mengeringkan-Nya dan air tak
dapat membasahi-Nya.
“acchedyo yam adahyo yam
akledyo sasya eva ca,
nittyah sarwagatah sthanur
acalo yam sanatanah”(Bhagawad Gita II.24)
artinya :
Sesungguhnya dia tidak dapat
dilukai, dibakar dan juga tak dapat dikeringkan dan dibasahi; Dia kekal,
meliputi segalanya, tak berubah, tak bergerak, dan abadi selamanya.
“Avyakto yam acityo yam
avikaryo yam ucyate,
tasmad evam viditvainam
nanusocitum arhasi”(Bhagawad Gita II.25)
artinya :
Dia tidak dapat diwujudkan
dengan kata – kata, tak dapat dipikirkan dan dinyatakan, tak berubah – ubah;
karena itu dengan mengetahui sebagaimana halnya, engkau tak perlu berduka.
Berdasarkan uraian sloka – sloka Bhagawad Gita diatas dapat kita simpulkan
sifat – sifat atman sebagai berikut :
a)
acchedya berarti tak terlukai senjata,
b)
adahya berarti tak terbakar oleh api,
c)
akledya berarti tak terkeringkan oleh angin,
d)
acesya berarti tak terbasahkan oleh air,
e)
nitya berarti abadi,
f)
sarwagatah berarti ada di mana-mana,
g)
sathanu berarti tidak berpindah – pindah,
h)
acala berarti tidak bergerak, sanatana berarti selalu sama dan kekal,
i)
awyakta berarti tidak dilahirkan,
j)
achintya berarti tak terpikirkan,
k)
awikara berarti tidak berubah,
l)
sanatana berarti selalu sama.
2.2.Pandangan Vedanta
Tentang Atman
2.2.1 Atman menurut
Advaita Vedanta
Jiwa perorangan tidak bisa dipandang sebagai khayalan belaka dari Brahman,
karena jiwa adalah Brahman. Hanya saja Brahman disini menampakan dirinya dengan
sarana tambahan ( upadhi ), yang konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarana
itu sendiri. Atman adalah Brahman seutuhnya sehingga atman mempunyai sifat yang
sama dengan Brahman, yaitu berada dimana – mana, tanpa terikat ruang dan waktu,
maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati. Dalam kehidupan sehari – hari ada
keanekaragaman perorangan yang disebabkan oleh Avidya. Dalam keadaan avidya manusia
tidak dapat membedakan dirinya yang sebenarnya dengan sarana – sarana tambahan
( upadhi ). Avidya atau ketidaktahuan mengakibatkan manusia mengalami segala
macam penderitaan. Karma wasana juga termasuk dalam upadhi, sehingga karma
wasana juga menyebabkan manusia menjadi avidya.(Sudiani, Ni Nyoman:2012.82)
2.2.2 Atman menurut
Visistadvaita Vedanta
Visistadvaita Vedanta menyatakan bahwa atman adalah bagian dari Brahman. Ibarat
sebiji buah delima, buah delima merupakan Brahman, sedangkan biji-bijinya
merupakan atman. Jivatman benar – benar bersifat pribadi dan secara mutlak
nyata dan berbeda dengan Brahman. Sesungguhnya ia muncul dari Brahman dan tidak
pernah diluar Brahman, tetapi sekalipun demikian ia menikmati keberadaan
pribadi dan akan tetap merupakan sesuatu kepribadian selamanya. Setiap jiwa
memperoleh badan ( tubuh ) sesuai dengan karmawasananya. Saat moksa jiwa tidak
murni bersatu dengan Brahman, karena masih ada identitas sehingga jiwa hanya
tinggal di Vaikuntha sebagai pelayan Brahman.(Sudiani, Ni Nyoman:2012.94)
2.2.3 Atman menurut
Dvaita Vedanta
Dalam sistem Dvaita Vedanta dikemukakan bahwa jiwa jumlahnya tidak terhitung. Tiap jiwa berbeda dengan jiwa yang
lainnya. Setiap jiwa memiliki pengalaman, cacad dan sengsaranya sendiri. Jiwa –
jiwa itu adalah kekal dan penuh kebahagiaan, karena adanya hubungan dengan
benda maka jiwa itu mengalami penderitaan dan kelahiran yang berulang – ulang.
Selama jiwa/atman tidak bebas dari ketidak murnian, mereka masih tersesat dalam
Samsara, mengembara dari satu kelahiran ke kelahiran yang lainnya. Bila
ketidak murnianya lepas mereka mencapai moksa atau pembebasan, tetapi roh tidak
mencapai kesamaan dengan Brahman, namun hanya berhak melayani-Nya.(Sudiani, Ni
Nyoman:2012.100-101)
2.3. Sloka – Sloka Yang
Berhubungan Dengan Atman
“ dehino ‘smin yatha dehe
kaumaram yauvanam jara,
tatha dehantara-praptir
dhiras tatra na muhyati”.( Bhagawadgita II.13 )
artinya :
Sebagaimana halnya sang roh itu
ada pada masa kecil, masa muda dan masa tua demikian juga dengan diperolehnya
badan baru, orang bijaksana tak akan tergoyahkan.
“ matra-sparas tu kaunteya
sitosna-sukha-dukha-dah,
agamapayino nityas
tams titiksasva bharata”.( Bhagawadgita II.14 )
artinya :
Sesungguhnya, hubungan dengan
benda- benda jasmaniah, wahai Arjuna, menimbulkan panas dan dingin, senang dan
duka, yang datang dan yang pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar,
wahai arjuna.
“ sarva-bhuta-sthitam yo mam
bhajaty ekatvam asthitah,
sarvatha vartamano ‘pi
sa yogi mayi vartate”.( Bhagawadgita II.31 )
artinya :
Dia yang memuja Aku yang
bersemayam pada semua insane, dengan tujuan manunggal, yogi yang demikian itu
dapat tinggal dalam diri-Ku, walau bagaimanapun cara hidupnya.
“ atmaupamyena sarvatra
samam pasyati yo
‘rjuna,
sukham va yadi va duhkham
sa yogi paramo matah”. ( Bhagawadgita VI.32 )
artinya :
Yogi yang dianggap tertinggi
adalah yang melihat dimana – mana sama atman itu sebagai atman-nya sendiri,
wahai Arjuna, baik dalam suka maupun duka.
“ ekorasasamutpanna
ekanaksatrakanwittah,
na bhawanti samacara
yatha badarakantakah.( Slokantara 27-53 )
artinya :
Lahir dari perut ibu yang sama
dan diwaktu yang sama, tetapi kelakuannya tidak akan sama. Manusia yang satu
berlainan dengan manusia yang lainnya, sebagai berbedanya duri belatung yang
satu dengan yang lainnya.
“ kadi rupa Sang Hyang
Aditya an prakasakan iking sarwa loka mangkana ta sang Hyang atma an prakasakan
iking sira marganyam wenang maprawartti.( Bhisma
Parwa )
artinya :
Sebagai rupanya Sang Hyang
Aditya menerangi dunia, demikianlah atma menerangi badan. Dialah yang
menyebabkan kita dapat berbuat.
Adapun kebahagiaan yang mutlak dan
abadi, hanya dapat dinikmati bilamana roh seseorang (Jiwatman) dapat
mencapai kesatuan dengan Hyang Widhi; karena kesatuan antara jiwatma dengan Hyang
Widhi itu saja yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan
tenang dan tenteram karena murninya jiwa (atma) yang disebut dalam
istilah sanskrit Ananda. Didalam Bhagavad Gita VI, 20,21 dan 22 Çri Krsna
menerangkan kepada Arjuna, mengenai Ananda atau kebahagiaan rohani yang kekal
yang disebut oleh jiwatma dapat mencapai kesatuannya dengan Hyang Widhi
(Paramatma), yang bunyinya sebagai berikut:
Bhagavad Gita VI.20
Yatroparamate cittam
niruddham yoga sewaya
yatro caiwa atmanatmanam
pasyam atmani tusyati.
maksudnya:
Bilamana hati (seseorang) merasa bahagia karena ditentramkan oleh latihan yoga; bilamana ia melihat Hyang Widhi (paramatma) dengan pengamatan rohnya (jiwatma), maka ia akan menikmati kebahagiaan rohani.
Yatroparamate cittam
niruddham yoga sewaya
yatro caiwa atmanatmanam
pasyam atmani tusyati.
maksudnya:
Bilamana hati (seseorang) merasa bahagia karena ditentramkan oleh latihan yoga; bilamana ia melihat Hyang Widhi (paramatma) dengan pengamatan rohnya (jiwatma), maka ia akan menikmati kebahagiaan rohani.
Bhagavad Gita VI.21
Sukham atyantikam yat tad
buddhigrahyam atinfriyam,
wetti yatra na caiwa yam,
athitaccalati tattwatah.
maksudnya:
Pada waktu ia menikmati kebahagiaan rohani yang tiada bandingnya, yang hanya dapat dicapai dengan budhi, yang lebih tinggi dari panca indra, tetap (menikmati kebahagiaan itu) tiada akan jauh berada dari Yang Mutlak.
Sukham atyantikam yat tad
buddhigrahyam atinfriyam,
wetti yatra na caiwa yam,
athitaccalati tattwatah.
maksudnya:
Pada waktu ia menikmati kebahagiaan rohani yang tiada bandingnya, yang hanya dapat dicapai dengan budhi, yang lebih tinggi dari panca indra, tetap (menikmati kebahagiaan itu) tiada akan jauh berada dari Yang Mutlak.
Bhagavad Gita VI.22
Yam labdhwa caparam labham
manyate nadhikam tatah
yasmin sthito na duhkena,
gurunapi wicalayate.
maksudnya:
Setelah mendapat kebahagiaan yang ia pandang tiada terbanding itu dan tetap ada di dalam kebahagiaan itu, tiada ia akan gentar, walaupun ditimpa malapetaka yang hebat.
Yam labdhwa caparam labham
manyate nadhikam tatah
yasmin sthito na duhkena,
gurunapi wicalayate.
maksudnya:
Setelah mendapat kebahagiaan yang ia pandang tiada terbanding itu dan tetap ada di dalam kebahagiaan itu, tiada ia akan gentar, walaupun ditimpa malapetaka yang hebat.
Tata Susila Hindu Dharma
oleh: Prof Dr. Ida Bagus Mantra
ATMA JNANA [MENGENAL / MENYADARI DIRI SEJATI]oleh: Prof Dr. Ida Bagus Mantra
Mengenal kesadaran Atma
[siapakah aku] ? Begitulah titik awal bagi para yogi di jalan Vedanta memulai evolusi bhatin mereka. Ini adalah titik berangkat evolusi bathin yang penting. Itu sebabnya di jalan Samkhya, Yoga dan Vedanta kita mengenal istilah Atma Jnana atau yang secara literal berarti pengetahuan atau mengetahui [jnana] tentang atman. Atma Jnana atau kesadaran murni adalah faktor kunci untuk merealisasi moksha [pembebasan dari realitas material/duniawi].
Banyak yang menerjemahkan atman sebagai roh [soul]. Ini adalah terjemahan yang bias dan salah, sebab dalam Hinduism sejatinya tidak dikenal adanya roh seperti dalam pemahaman agama lain. Atman dalam Hindu adalah bagian kecil dari Brahman. “Brahman Atman Aikyam”, Brahman dan Atman itu sama adanya [tidak berbeda]. Laksana setetes air dalam samudera yang maha luas. Atman dalam diri [manifestasi sebagai mahluk] disebut : Jivatman [Jiva Atman]. Jiva berarti mahluk hidup. Kalau Atman identik dengan Brahman, Jiva lebih menunjukkan kepada mahluk hidup sebagai individu. Jadi Atman sama dengan Brahman, sedangkan Atman yang yang diliputi oleh realitas material [Prakriti] disebut Jivatman.
Kebahagiaan dan penderitaan mahluk lain berarti kebahagiaan dan penderitaan diri sendiri. Menyiksa orang lain sama dengan menyiksa diri sendiri, karena jiwatman kita sendiri tunggal dengan jiwatman semua orang dan semua mahluk. Kesadaran akan tunggalnya jiwatman yang ada didalam diri kita sendiri dengan jiwatman semua mahluk, maka kita berhasrat melakuan amal saleh terhadap semuanya. Kesadaran akan tunggalnya jiwatma dengan Brahma, maka timbul hasrat untuk mempersatukan atman sendiri dengan Brahman (Hyang Widhi). Amal saleh dan kebajikan yang dilakukan untuk kesejahteraan sesama makhluk disebut dharma; dan kesatuan antara jiwatman dengan Brahman disebut moksa. Jalan untuk beramal saleh melakukan dharma disebut prawerti marga, dan jalan untuk mencapai kesatuan jiwatman dengan Brahman (moksa) disebut Niwrti marga. Setelah jiwatma dapat bersatu dengan Brahma, berarti telah menginjak alam moksa. Dan orang yang mendapat moksa disebut Mukti. Roh orang yang telah moksa menjadi murni dan sama dengan Brahman. Kemurnian Jiwatma ini menimbulkan suatu rasa bahagia yang tiada terbanding dan bahagia yang abadi yang disebut Ananda (kebahagiaan rohani). Di dalam Candogya Upanishad 6, 8, 7, terdapat suatu dalil yang bunyinya sebagai berikut
“Tat Twam Asi”
yang artinya: Dikaulah itu,
Dikalaulah (semua) itu; semua makhluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh
(jiwatma) dan zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal
dari-Mu. Oleh karena itu jiwatmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwatma semua
makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu
Aku adalah Engkau; aku adalah Brahma “Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka
Upanisad 14.10.)
Menurut ajaran upanishad,
tutur-tutur, dan Bhagavad Gita dikatakan bahwa ada satu atma yang memberi hidup
kepada semua makhluk dan menggerakkan alam semesta yang disebut paramatma.
Adapun atma yang terdapat di dalam diri tiap-tiap makhluk, adalah bagian dari
paramatma itu. Bagian dari paramatma yang ada di dalam disebut juga jiwatma.
Adanya jiwatma itu ibarat sinar
matahari yang memancarkan dan menyinari semua tempat, sedangkan paramatma
ibarat matahari itu sendiri, sebagai sumber sinar-sinar yang memancar di segala
tempat. Sebenar-benarnya tidak ada perbedaan antara paramatma yang sebagai
matahari, dan jiwatma-jiwatma yang dapat kita ibaratkan sinarnya. Di dalam
Bhagavad Gita XII,33 terdapat suatu sloka yang berbunyi sebagai berikut:
“Yatha
paraktacayaty ekah,
krtsnam lokam imam rawih,
ksetram ksetri tatha krtsnam,
prakacayati bharata”.
Maksudnya: Bagaikan satu matahari menerangi seluruh dunia, demikian juga paramatma (Hyang Widhi) dari alam semesta menerangi (memberi hidup) seisi alam (semua makhluk) wahai Arjuna.
krtsnam lokam imam rawih,
ksetram ksetri tatha krtsnam,
prakacayati bharata”.
Maksudnya: Bagaikan satu matahari menerangi seluruh dunia, demikian juga paramatma (Hyang Widhi) dari alam semesta menerangi (memberi hidup) seisi alam (semua makhluk) wahai Arjuna.
Tujuan hidup kita yang terakhir
adalah menuju moksa, yaitu persatuan (penunggalan) Jiwatma dan Paramatma. Jalan
yang benar adalah segala sesuatu yang menuju kearah kesatuan. Segala sesuatu
yang menghalangi kesatuan, adalah tidak benar. Untuk mengetahui jalan yang benar
Hyang Widhi Wasa tidak membiarkan kita di dalam keadaan yang gelap (awidya).
Dia mengirimkan orang-orang besar dan suci, memimpin umatnya bila ada yang
merintangi. Dia memberikan kita kekuatan pikiran, dengan mana kita dapat
mengertikan mana yang salah dan mana yang benar. Semasih kita kanan-kanak, kita
harus menuruti apa yang diajarkan, dan bila sudah dewasa, kita dapat mengerti
segala isi pelajaran itu. Dan semua ajaran-ajaran ini, diabadikan di dalam
Weda-weda dan Castra oleh Para Rsi (seperti Bhagawan Byasa).
Hukum-hukum yang sederhana yang
diabadikan di dalam kitab-kitab suci oleh Para Rsi adalah: “Sesuatu perbuatan
yang tidak kita kehendaki, janganlah dilakukan terhadap orang lain. Umpamanya,
kita tidak suka dipukul atau disiksa, dimarahi, dicaci (tricapala). Kita
hendaknya selalu berbuat baik kepada orang lain, jika kita menghendaki
kebahagiaan, kesenangan, dibicarakan baik dan begitulah kita berbuat dengan
orang lain. Kita jangan menyakiti orang lain karena orang lain akan menyakiti
kita; umpamanya jika seseorang marah kepada kita, kita hendaknya menjawab
dengan lemah lembut, disertai dengan rasa tenang”.
Sebaliknya apabila kemarahan dibalas
dengan kemarahan, adalah sebagai api sedang menyala, disiram dengan minyak. Dan
sikap kita janganlah hendaknya baik dan kasih hanya kepada manusia saja, tetapi
juga kepada mahluk yang lainnya.
Demikian pula sikap kita terhadap
orang tua hendaknya kasih, hormat dan berusaha menolong dan meladeni mereka
sebaik-baiknya. Sikap kita kepada saudara dan kawan-kawan, hendaknya jujur dan
baik hati dan berusaha mempunyai perasaan kasih kepadanya, tidak membicarakan
dan berbuat kasar kepadanya. Pada orang yang lemah, hendaknya kita memakai
kekuatan kita untuk melindungi mereka dan tidak berbuat sesuatu yang
menakutkan. Dan yang terpenting yang harus kita perbuat ialah: berbuat (kayika)
berkata (wacika) dan berfikir (manacika) yang benar dan ketiga
hal tersebut “Trikaya Parisudha“. Hendaknya bersikap kstria dan berterus
terang, hormat, teliti, jujur, rajin, sederhana dalam makan dan minum, dan
mereka yang melakukan ini akan menjadi orang yang baik.
Di dalam Upanisad terdapat suatu
dalil yang berbunyi sebagai berikut: “Brahma atma aikyam, yang artinya
Brahman dan atma (jiwatma) adalah tunggal.
Oleh karena jiwatma semua mahluk
tunggal dengan Brahma, maka jiwatma suatu mahluk tunggal juga dengan semua
jiwatma, dan jiwatma kitapun tunggal dan sama dengan jiwatma (roh) semua
mahluk. Kesadaran akan tunggalnya jiwatma (roh) kita, maka kita akan merasakan
dengan renungan kebijaksanaan yang dalam, bahwa kita sebenarnya satu sama
dengan mahluk yang lain.
Hyang Widhi Wasa berada dimana-mana
dan tunggal. Menjadi dasar hidup segala ciptaannya yang berpisah-pisah. Sebagai
matahari yang menyinari segala pelosok, meskipun ribuan rumah yang membatasi
tembok-tembok yang tinggi, akan tetapi sinar matahari akan menyinari semuanya
dan sinar serta panas pada tiap-tiap rumah itu adalah berasal dari matahari
yang tunggal. Begitulah jiwatma-jiwatma dalam semua mahluk, diasingkan satu
dengan yang lainnya dengan badan yang berbeda-beda, dihidupkan pada dasarnya
oleh Hyang Widhi.
Jika tata susila mendasarkan
ajarannya saja hanya kepada keesaan Hyang Widhi Wasa saja yang menyadari dasar
semua mahluk, maka berarti tiap-tiap perbuatan yang baik dan yang tidak baik
yang dilakukan oleh seseorang pada tetangganya, berarti juga berbuat baik atau
tidak baik kepada dirinya sendiri; umpamanya melukai tangan, juga akan
mempengaruhi bahagian badan lainnya, meskipun tidak ada lukanya, karena dirasai
sakit itu datangnya dari bahagian badan. Jika kita merasakan ini, maka kita
akan selalu berbuat baik, untuk kebaikan semua mahluk (ingatlah akan pengertian
Tat twam asi dan Aham Brahma asmi). Tetapi oleh karena kita
jarang menyadari hal kebenaran ini, perlu ada aturan tata susila, yang pada
pokoknya menghalangi perbuatan menyiksa orang lain dan juga diri sendiri.
Para Rsi mengetahui kebenaran yang
utama ini, yaitu bahwa atma di tiap-tiap orang adalah tunggal; mereka lalu
membangunkan tata susila diatas kebenaran ini. Oleh karena itu kekuasaan
kebenaran tata susila dalam weda-weda yang lainnyapun mutlak, karena
berdasarkan kebenaran sebagaimana tersebut dalam:
Bhagavad Gita X.20
Aham atma gudakeca
sarwabhutacayasthitah
aham adic ca mashyam ca
bhutanam anta ewa ca.
maksudnya:
Wahai Arjuna, Aku adalah Atma, yang bersemayam di dalam hati semua mahluk, dan Aku awal mula, pertengahan dan akhir mahluk itu.
Aham atma gudakeca
sarwabhutacayasthitah
aham adic ca mashyam ca
bhutanam anta ewa ca.
maksudnya:
Wahai Arjuna, Aku adalah Atma, yang bersemayam di dalam hati semua mahluk, dan Aku awal mula, pertengahan dan akhir mahluk itu.
Bhagavad Gita X.29
Yac ca pi sarwabhutanam
bijam tad aham arjuna
na tad asti wina yat syam
maya bhutam caracaram.
maksudnya:
Wahai Arjuna, akulah benih segala mahluk, dan tidak ada satu ciptaan yang bergerak maupun tidak bergerak, tanpa aku.
Yac ca pi sarwabhutanam
bijam tad aham arjuna
na tad asti wina yat syam
maya bhutam caracaram.
maksudnya:
Wahai Arjuna, akulah benih segala mahluk, dan tidak ada satu ciptaan yang bergerak maupun tidak bergerak, tanpa aku.
Bhagavad Gita XIII.27
Saman sarwesu bhutesu
tisthantam paramecwaram
winac yatsw awinacyantam
yah pacyati sa pacyati.
maksudnya:
Orang yang melihat Tuhan yang kekal dan abadi (tidak dapat binasa) bersemayam merata di dalam semua mahluk yang tidak kekal (dapat binasa) dialah sebenarnya yang melihat.
Saman sarwesu bhutesu
tisthantam paramecwaram
winac yatsw awinacyantam
yah pacyati sa pacyati.
maksudnya:
Orang yang melihat Tuhan yang kekal dan abadi (tidak dapat binasa) bersemayam merata di dalam semua mahluk yang tidak kekal (dapat binasa) dialah sebenarnya yang melihat.
Jadi tata susila Agama Hindu
dibangun atas dasar kebenaran yang maha adil, Jika bertentangan dengan hal ini
akan timbul ketidakselarasan di dalam mahluk. Dari itu, kebenaran yang mutlak
berdasarkan peri kemanusiaan.
Tata Susila Hindu Dharma (milik Bimas Hindu & Budha
Dapg)oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Mantra
Para Maharsi mengajarkan bahwa kita bukanlah badan dan pikiran [atau emosi] kita. Kita adalah jiwa-jiwa agung dalam perjalanan yang mengagumkan. Kita datang dari Brahman, hidup dalam Brahman dan berkembang menuju kesadaran akan kemanunggalan dengan Brahman. Kita mencari-cari kebenaran, padahal kita ada didalam kebenaran, hanya saja kita tidak menyadarinya. Dalam Hindu Jawa disimpulkan dalam kalimat "ya sira ya ingsun". Karena Brahman adalah hidup kita.
Hindu jawa bilang "Ngelmu iku kelakone kanthi lab, tanpa laku tangeb lamun kelakon". Laku adalah sadhana [disiplin spiritual], dan orang yang sedang melaksanakan sadhana yang ketat disebut nglakoni, misalnya : tapa mbisu [mona brata], nglelana [dharma yatra], mutih [hanya makan nasi dan minur air putih], ngrowot [hanya makan umbi-umbian] dan berbagai laku lainnya, seperti : nglelana [berkelana] dengan telanjang atau hanya mengenakan cawat, mengemis, dll, yang bagi orang umum sangat tidak normal.
Sejatinya itu dilakukan bukan untuk meencari perhatian orang, melainkan untuk menyingkirkan ke-aku-an [ahamkara] dan vasana [kecenderungan pikiran atau pemikiran] yang melekat pada dirinya. Dari rasa takut menuju ketabahan, dari rasa curiga menuju kerelaaan, dari kemarahan menuju welas asih, dari kebencian menuju perdamaian, dari keinginan menuju pelepasan, dari kegelapan menuju penerangan. Dalam rangka merealisasi kesadaran murni [Atma Jnana], dimana semuanya adalah satu [manunggal], yaitu Brahman.
Garis besar dari sadhana menuju Atma Jnana [mengetahui tentang atman] ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
-1. Mengetahui [menyadari] tentang badan.- (Orang yang tidak tahu siapa sejatinya dirinya)
Ciri-ciri orang yang tidak mengetahui [menyadari] diriNYA/badanNYA adalah semua keinginan badan [indriya] diikuti. Mulut diikuti, mata diikuti, telinga diikuti, lidah, Hidung dll. Perhatikan liarnya tubuh ini : - kalau kita mencium bau masakan yang enak, mendadak kita jadi lapar dan air liur kita menetes, -ketika melihat wanita cantik, mendadak mata kita jelalatan, - nafsu seks diikuti sepuas-puasnya, dll. Siapa saja yang tunduk pada semua keinginan badan [indriya-nya], hidupnya akan terguncang. Karena kita akan terus berkejaran dengan keinginan badan yang tidak mengenal ujung itu. Sampai di suatu titik, puas sebentar, kemudian lari lagi dengan keinginan untuk mencapai ujung yang lain dan seterusnya tidak pernah berhenti proses inilah yang akan melahirkan turunannya Sad Ripu seperti Lobha, Amarah, Moha/mabuk, Mada/Sombong dan Matsarya/Iri hati.
Orang yang mengetahui [menyadari] diriNYA/badanNYA, pelan-pelan secara bertahap dia menjaga jarak dengan seluruh hawa nafsu dan keinginan yang muncul dari badan-nya. Dalam vedanta ini disebut INDRIYA PRATYAHARA. Begitu badan [indriya] ada di bawah kendali, mereka sebatas menjadi pembantu kehidupan dan tidak lagi menjadi penguasa kesadaran. Dengan demikian perlahan-perlahan kita bergerak dari kecenderungan pada Prakriti [realitas materi/duniawi], menuju kecenderungan pada Purusha [realitas absolut].
-2. Mengetahui [menyadari] tentang pikiran.-(orang yang tidak bisa mengendalikan pikirannya)
Sadhana yang jauh lebih berat dari mengetahui [menyadari] badan adalah mengetahui atau [menyadari] pikiran. Karena kalau badan jelas sekali wujudnya ini dan itu, sedangkan pikiran itu sesuatu yang abstrak dan sangat halus.
Ciri-ciri orang yang tidak mengetahui [menyadari] pikirannya adalah :
Dia tunduk kepada sad ripu [enam kegelapan bathin] yang muncul dalam pikirannya. Seperti :
Kama = Keinginan/Hawa nafsu, Lobha=Serakah, Marah, Moha/bingung, Mada/Sombong dan Matsarya/Irihati/dengki.
Pikiran bisa menjadi pembantu yang baik atau sebaliknya penguasa yang mengerikan. Sehingga penting untuk berlatih mengamati pikiran, perasaan dan emosi kita sendiri, sekaligus menjaga jarak kepadanya. Amati pikiran kita saat kita marah, saat kita sedih, saat kita sedang nafsu, dll, dan yang paling penting : jangan diikuti, disadari saja. Bila kita tekun menjadi pengamat pikiran, perasaan dan emosi kita sendiri dan menjaga jarak kepadanya, kita akan menjadi lebih sadar tentang hakikat pikiran kita sendiri.
- Dia didikte oleh dualitas pikirannya.
Misalnya : saya benar anda salah, saya baik anda buruk, kalau saya banyak uang itu baik kalau tidak punya uang itu buruk, kalau dipuji orang itu bagus kalau dihina orang itu buruk, dll semua dualitas pikiran. Sumber dualitas dalam bathin kita ini adalah serakah [lobha] -hanya mau yang baik-baik saja dan tidak mau yang buruk-, serta pikiran yang rajin melakukan pembedaan-pembedaan dan perbandingan-perbandingan berbahaya.
Orang yang mengetahui [menyadari] pikirannya, pelan-pelan secara bertahap dia menjaga jarak dengan seluruh sad ripu dan melampaui semua dualitas yang muncul dalam pikirannya. Dalam vedanta ini disebut MANASA PRATYAHARA. Begitu pikiran ada di bawah kendali, mereka sebatas menjadi pembantu kehidupan dan tidak lagi menjadi penguasa kesadaran. Hasilnya adalah bathin yang tenang-seimbang. Pikiran, perasaan dan ekspresi kita tetap sejuk, teduh dan damai walau apapun yang terjadi dalam kehidupan. Dengan demikian kita bisa lepas dari kecenderungan pada Prakriti [realitas materi], menuju kecenderungan pada Purusha [realitas absolut].
PENUTUP
Orang yang bisa menjaga jarak dengan badan dan pikirannya, bebas dari identifikasi diri sebagai badan dan pikiran, itulah manusia yang sadar, yang ke-aku-annya [ahamkara] sudah lenyap, yang sudah bisa melihat : semuanya Brahman. Yang baik maupun buruk adalah Brahman, yang benar maupun salah adalah Brahman, yang terhormat maupun yang hina adalah Brahman, yang mengerikan maupun yang indah adalah Brahman, yang suci maupun yang kotor adalah Brahman, dll. Dalam bahasa tetua orang Bali dan Jawa : Rwa Bhinneda. Sehingga yang muncul keluar hanyalah welas asih dan kebaikan yang tidak terbatas kepada semuanya.