Friday, October 21, 2011

ATMAN




Nan yar [siapakah aku] ? Begitulah titik awal bagi para yogi di jalan Vedanta memulai evolusi bhatin mereka. Ini adalah titik berangkat evolusi bathin yang penting. Itu sebabnya di jalan Samkhya, Yoga dan Vedanta kita mengenal istilah Atma Jnana atau yang secara literal berarti pengetahuan atau mengetahui [jnana] tentang atman. Atma Jnana atau kesadaran murni adalah faktor kunci untuk merealisasi moksha [pembebasan dari realitas material].

Banyak yang menerjemahkan atman sebagai roh [soul]. Ini adalah terjemahan yang bias dan salah, sebab dalam Hinduism sejatinya tidak dikenal adanya roh seperti dalam pemahaman agama lain. Atman dalam Hindu adalah bagian kecil dari Brahman. “Brahman Atman Aikyam”, Brahman dan Atman itu sama adanya [tidak berbeda]. Laksana setetes air dalam samudera yang maha luas. Atman dalam diri [manifestasi sebagai mahluk] disebut : Jivatman [Jiva Atman]. Jiva berarti mahluk hidup. Kalau Atman identik dengan Brahman, Jiva lebih menunjukkan kepada mahluk hidup sebagai individu. Jadi Atman sama dengan Brahman, sedangkan Atman yang yang diliputi oleh realitas material [Prakriti] disebut Jivatman.

ATMA JNANA [MENGENAL / MENYADARI DIRI SEJATI]

Kata "sangkan paraning dumadi" sudah tidak asing lagi bagi Hindu Jawa, dengan "manunggaling kawulo lan gusti" sebagai pencapaian puncaknya. Para Maharsi mengajarkan bahwa kita bukanlah badan dan pikiran [atau emosi] kita. Kita adalah jiwa-jiwa agung dalam perjalanan yang mengagumkan. Kita datang dari Brahman, hidup dalam Brahman dan berkembang menuju kesadaran akan kemanunggalan dengan Brahman. Kita mencari-cari kebenaran, padahal kita ada dalam kebenaran, hanya saja kita tidak menyadarinya. Dalam Hindu Jawa disimpulkan dalam kalimat "ya sira ya ingsun". Karena Brahman adalah hidup kita.

"Ngelmu iku kelakone kanthi lab, tanpa laku tangeb lamun kelakon". Laku adalah sadhana [disiplin spiritual], dan orang yang sedang melaksanakan sadhana yang ketat disebut nglakoni, misalnya : tapa mbisu [mona brata], nglelana [dharma yatra], mutih [hanya makan nasi dan minur air putih], ngrowot [hanya makan umbi-umbian] dan berbagai laku lainnya, seperti : nglelana [berkelana] dengan telanjang atau hanya mengenakan cawat, mengemis, dll, yang bagi orang umum sangat tidak normal.

Sejatinya itu dilakukan bukan untuk meencari perhatian orang, melainkan untuk menyingkirkan ke-aku-an [ahamkara] dan vasana [kecenderungan pikiran atau pemikiran] yang melekat pada dirinya. Dari rasa takut menuju ketabahan, dari rasa curiga menuju kerelaaan, dari kemarahan menuju welas asih, dari kebencian menuju perdamaian, dari keinginan menuju pelepasan, dari kegelapan menuju penerangan. Dalam rangka merealisasi kesadaran murni [Atma Jnana], dimana semuanya adalah satu [manunggal], yaitu Brahman.

Garis besar dari sadhana menuju Atma Jnana [mengetahui tentang atman] ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

-1. Mengetahui [menyadari] tentang badan.-

Ciri-ciri orang yang tidak mengetahui [menyadari] badannya adalah semua keinginan badan [indriya] diikuti. Mulut diikuti, mata diikuti, telinga diikuti, dll. Perhatikan liarnya tubuh ini : - kalau kita mencium bau masakan yang enak, mendadak kita jadi lapar dan air liur kita menetes, -ketika melihat wanita cantik, mendadak mata kita jelalatan, - nafsu seks diikuti sepuas-puasnya, dll. Siapa saja yang tunduk pada semua keinginan badan [indriya-nya], hidupnya akan terguncang. Karena kita akan terus berkejaran dengan keinginan badan yang tidak mengenal ujung itu. Sampai di suatu titik, puas sebentar, kemudian lari lagi dengan keinginan untuk mencapai ujung yang lain dan seterusnya tidak pernah berhenti.

Orang yang mengetahui [menyadari] badannya, pelan-pelan secara bertahap dia menjaga jarak dengan seluruh hawa nafsu dan keinginan yang muncul dari badan-nya. Dalam vedanta ini disebut INDRIYA PRATYAHARA. Begitu badan [indriya] ada di bawah kendali, mereka sebatas menjadi pembantu kehidupan dan tidak lagi menjadi penguasa kesadaran. Dengan demikian perlahan-perlahan kita bergerak dari kecenderungan pada Prakriti [realitas materi], menuju kecenderungan pada Purusha [realitas absolut].

-2. Mengetahui [menyadari] tentang pikiran.-

Sadhana yang jauh lebih berat dari mengetahui [menyadari] badan adalah mengetahui [menyadari] pikiran. Karena kalau badan jelas sekali wujudnya ini dan itu, sedangkan pikiran itu sesuatu yang abstrak dan sangat halus.

Ciri-ciri orang yang tidak mengetahui [menyadari] pikirannya adalah :

- Dia tunduk kepada sad ripu [enam kegelapan bathin] yang muncul dalam pikirannya.
Matsarya [iri hati, dengki], kroda [kemarahan, kebencian], kama[hawa nafsu, keinginan], lobha [serakah], mada [mabuk, sombong, angkuh] dan moha [kebingungan, mumet, putus asa]. Pikiran bisa menjadi pembantu yang baik atau sebaliknya penguasa yang mengerikan. Sehingga penting untuk berlatih mengamati pikiran, perasaan dan emosi kita sendiri, sekaligus menjaga jarak kepadanya. Amati pikiran kita saat kita marah, saat kita sedih, saat kita sedang nafsu, dll, dan yang paling peting : jangan diikuti, disadari saja. Bila kita tekun menjadi pengamat pikiran, perasaan dan emosi kita sendiri dan menjaga jarak kepadanya, kita akan menjadi lebih sadar tentang hakikat pikiran kita sendiri.

- Dia didikte oleh dualitas pikirannya.
Misalnya : saya benar anda salah, saya baik anda buruk, kalau saya banyak uang itu baik kalau tidak punya uang itu buruk, kalau dipuji orang itu bagus kalau dihina orang itu buruk, dll semua dualitas pikiran. Sumber dualitas dalam bathin kita ini adalah serakah [lobha] -hanya mau yang baik-baik saja dan tidak mau yang buruk-, serta pikiran yang rajin melakukan pembedaan-pembedaan dan perbandingan-perbandingan berbahaya.

Orang yang mengetahui [menyadari] pikirannya, pelan-pelan secara bertahap dia menjaga jarak dengan seluruh sad ripu dan melampaui semua dualitas yang muncul dalam pikirannya. Dalam vedanta ini disebut MANASA PRATYAHARA. Begitu pikiran ada di bawah kendali, mereka sebatas menjadi pembantu kehidupan dan tidak lagi menjadi penguasa kesadaran. Hasilnya adalah bathin yang tenang-seimbang. Pikiran, perasaan dan ekspresi kita tetap sejuk, teduh dan damai walau apapun yang terjadi dalam kehidupan. Dengan demikian kita bisa lepas dari kecenderungan pada Prakriti [realitas materi], menuju kecenderungan pada Purusha [realitas absolut].

PENUTUP

Orang yang bisa menjaga jarak dengan badan dan pikirannya, bebas dari identifikasi diri sebagai badan dan pikiran, itulah manusia yang sadar, yang ke-aku-annya [ahamkara] sudah lenyap, yang sudah bisa melihat : semuanya Brahman. Yang baik maupun buruk adalah Brahman, yang benar maupun salah adalah Brahman, yang terhormat maupun yang hina adalah Brahman, yang mengerikan maupun yang indah adalah Brahman, yang suci maupun yang kotor adalah Brahman, dll. Dalam bahasa tetua orang Bali dan Jawa : Rwa Bhinneda. Sehingga yang muncul keluar hanyalah welas asih dan kebaikan yang tidak terbatas kepada semuanya.