Thursday, March 27, 2014

PERLU KETETAPAN HATI MENERAPKAN CATUR WARNA



Perlu Ketetapan Hati Menegakkan Catur Warna
Oleh : Ketut Wiana,
Sesungguhnya permasalahan Catur Warna tidak begitu mementingkan adanya bhisama dari Sabha Pandita PHDI Pusat. Karena menurut ketentuan Manawa Dharmasastra XII.108 sampai dengan 114 bahwa yang patut dibhisamakan oleh Brahmana Sista yang duduk di Parisada adalah hal-hal (dharma) yang belum jelas dinyatakan dalam kitab suci. Mengenai filosofi dan konsepsi Catur Warna sesungguhnya sudah sangat jelas dalam kitab suci maupun kitab-kitab susastranya. Karena tradisi kasta yang bertentangan dengan ajaran Catur Warna demikian dalamnya masuk ke dalam tradisi umat Hindu maka banyak pihak mengusulkan agar pengertian Catur Warna yang benar menurut kitab suci dibhisamakan. Langkah ini semata-mata untuk lebih menegaskan bahwa apa yang diajarkan dalam kitab suci mengenai Catur Warna itulah yang benar.
MELURUSKAN kesalahpahaman tentang terpelesetnya ajaran Catur Warna (Varna) menjadi kasta dalam masyarakat Hindu membutuhkan ketetapan hati dan kesabaran yang ekstra. Mengapa demikian, karena mengubah hal-hal yang sudah demikian mentradisi tidak begitu mudah. Meskipun tradisi tersebut sudah jelas-jelas memanipulasi umat Hindu demikian lama.
Sesungguhnya sudah banyak kemajuan yang telah terjadi untuk membali ke sistem Catur Warna. Pesamuhan Campuhan yang menghasilkan Piagam Campuhan tahun 1961 sudah menetapkan bahwa setiap umat Hindu yang memiliki kemampuan sesuai dengan ketentuan sastra suci Hindu boleh madwijati menjadi pandita/sulinggih. Jadi sistem kepanditaan umat Hindu sejak tahun 1961 sudah mulai berubah. Ini artinya pesamuhan para pandita se-Bali dalam Pesamuhan Agung Parisada tersebut sudah menetapkan langkah yang sangat strategis untuk mengembalikan sistem warna dan menghilangkan dampak negatif tradisi wangsa. Karena tradisi wangsa hanya menetapkan hanya wangsa tertentu saja boleh menjadi pandita. Meskipun untuk menegakkan ketetapan itu sungguh tidak mudah, berbagai hambatan banyak bermunculan. Yang juga sering menghambat tegaknya keputusan itu justru banyak juga datang dari oknum-oknum penguasa.
Dengan berbagai dalih sering mereka tidak mendudukkan pandita setara. Perbedaan justru dimunculkan dengan berbagai alasan yang dicari-cari dan tidak realistis, sehingga melanggengkan ketegangan dan konflik fi tingkat umat. Padahal PHDI lewat Mahasabha II tahun 1968 sudah menetapkan bahwa semua dwijati itu setara. Menghadapi hambatan ini memang sangat dibutuhkan ketegaran, ketetapan hati dan kesabaran yang prima untuk mencegah jangan sampai terjadi revolusi sosial yang tajam.
Swami Satya Narayana menyatakan bahwa pada zaman Kali tidak baik menegakkan kebenaran dengan kekerasan. Berbicara boleh saja keras tetapi tidak dengan cara kasar, lebih-lebih menggunakan cara-cara brutal. Berbicara keras dalam artian kuat memegang prinsip dan tabah menghadapi berbagai hambatan, meyakini kebenaran pasti menang (Satyam Eva Jayate).
Kuat memegang prinsip, mempunyai ketetapan hati, tabah menghadapi berbagai hambatan dan sabar menunggu perubahan, merupakan senjata yang paling tepat digunakan untuk mengubah tradisi yang sudah bertentangan dengan ajaran Hindu.
Perlu Ketabahan
Mengembalikan tegaknya ajaran Catur Warna kembali dibicarakan dalam Pesamuhan Agung PHDI di Mataram 2002 ini. hal ini sebagai bukti bahwa umat Hindu masih sebagian besar memiliki ketetapan hati dan kesabaran untuk menegakkan ajaran Catur Warna yang sudah berabad-abad diplesetkan menjadi sistem kasta oleh sejarah masa lampau.
Penetapan hal ini oleh Sabha Pandita PHDI Pusat menjadi bhisama tentunya membutuhkan waktu yang cukup panjang lagi untuk mensosialisasikannya. Itu jika tidak ada oknum maupun kelompok yang ikut bermain untuk menghalang-halangi upaya tersebut. Hambatan-hambatan lain pasti akan terjadi namun apabila ketetapan hati umat terus-menerut ditingkatkan, tentu akan membuahkan hasil. Lebih-lebih apabila didukung ketabahan untuk menyadarkan mereka yang masih dalam kegelapan pemahaman karena mendapatkan keuntungan sosial dan ekonomi dari sistem yang bertentangan dengan pelencengan ajaran Catur Warna itu.


BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : /Bhisama /Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang
PENGAMALAN CATUR WARNA
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Hyang Widhi Wasa
Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Menimbang:
  1. Bahwa Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Bhisama sesuai dengan Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia yang ditetapkan dalam Maha sabha VIII tahun 2001 di Denpasar, Bali. 
  2. Bahwa Catur Vama adalah ajaran tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat berdasarkan "guna" (bakat) dan "Karma" (kerja) yang sesuai dengan pilihan hidupnya. 
  3. Bahwa di dalam sejarah perkembangan agama Hindu telah terjadi penyimpangan pengertian ajaran tentang Catur Varna menjadi Kasta atau Wangsa yang berdasarkan atas kelahiran (keturunan/keluarga) seseorang. 
  4. Bahwa untuk meluruskan pemahaman dan pengamalan Catur Warna yang menyimpang selama ini, maka dipandang perlu menetapkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna tersebut  
Mengingat :
  1. Ketetapan Mahasabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Tahun 2001 Nomor: 1/Tap.M.Sabha/VIII/ 2001 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parisada Hindu Dharma Indonesia.
  2. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Nomor: II/TAP/M.Sabha/VIII/2001 tentang Program Kerja Parisada Hindu Dharma Indonesia
Memperhatikan :
Usul-usul Sabha Walaka dan hasil pembahasan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 26-27 Oktober 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT TENTANG PENGAMALAN CATUR VARNA SESUAI DENGAN KITAB SUCI VEDA DAN SUSASTRA HINDU LAINNYA
Pertama: Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas "guna" dan "Kama" dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa.
Kedua: Bhisama tentang Pengamalan Catur Vama ini sebagai pedoman yang sepatutnya dipatuhl oleh seluruh umat Hindu.
Ketiga: Menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna ini, beserta penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.
Keempat: Apabila ada kekeliruan dalam Bhisama ini akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Kelima:  Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Bhisama ini disampaikan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk dilaksanakan.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
Dharma Adhyaksa                                                               Wakil Dharma Adhyaksa

Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa               Ida Pandita Mpu Java Dangka Suta Reka
Lampiran
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Pengamalan Catur Vama
 PENGAMALAN CATUR VARNA
A. Latar Belakang.

Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia.
Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalain bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat Hindu semakin keras untuk kembali ke ajaran Catur Varna, oleh karena itu dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia bulan September 2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang Catur Warna ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan diskusi-diskusi. Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat Hindu. 

Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali kepada sistem Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem Wangsa. Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk mengembalikan secara bertahap agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu menuju pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhur dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa itu sendiri. Sistem Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran Hindu yang benar dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari. Seperti sistem penghormatan dalam pergaulan sosial/adat-istiadat. 

Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam swadharmanya memimpin upacara tidak memandang dari asal usul Wangsa seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita sudah lepas dari ikatan Wangsanya.
B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda
Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam kitab Brahma Purana 228.45.Dharma artha kama moksanam sarira sadanam, artinya: badan (Sarira: Sthula, Suksama dan Antakarana Sarira) hanya dapat dijadikan sarana untuk mencapai Dhanna, Artha, Kama dan Moksa. Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap. Dalam Agastya Parwa dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai secara bertahap menurut Catur Asrama. Tahap hidup Brahmacari diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahap hidup Vanaprastha dan Sannyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa.
 Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan hidup (Catur Asrama) itu dibutuhkan empat jenis profesi yang disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang. Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci, Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari lengan Brahman,Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya Brahman. Jadi semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna ini memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau sudah mentaati swadharmanya masing-masing.

Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas bahwa untuk menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadinya yang menentukan " Varna" seseorang adalah profesinya bukan berdasark-an keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber "varna" Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber " varna" Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra.

Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak diperkenankan menjadi Dvijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki kemampuan rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma seorang Dvijati adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat. Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci Veda semua Varna berhak dan boleh mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan dengan jelas dan tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2.

Vama seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya menjadi seorang Brahmana, seperti halnya Rawana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi yang terpandang, namun Rawana bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa bemama Hiranya Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang tidak ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
C. Menegakkan sistem Catur Varna.

Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:

 1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai "metode pembinaan umat Hindu" yang telah ditetapkan dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Santi.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal " Wangsa"nya.
3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha" (memercikkan air suci) umat diajak untuk membiasakan menerima "Siratan Tirtha" (percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat resmi yang patut mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara "Matur Piuning" di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama.
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara "Pawiwahan" (perkawinan) karena mempelal berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi), orang tua sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa. 
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya saling harga-menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya.

 Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan kepada umat Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama Hindu di atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan tetap terpelihara dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu tetap memelihara adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang disebut Satya Dharma.

   
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
Dharma Adhyaksa                                                                            Wakil Dharma Adhyaksa

Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa                                   Ida Pandita Mpu Java Dangka Suta Reka
 

Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali



Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali. Belajar Leak sangat berat . Leak Desti di Bali dari jaman dulu kala sudah menjadi fenomena yang tak pernah sirna dimakan jaman, keberadaannya dari dulu menjadi momok yang menakutkan masyarakat.
Leak Desti adalah perwujudan ilmu leak tingkat paling bawah yaitu perwujudannya bisa berbentuk binatang yang namanya Lelakut yaitu sejenis kadal yang besar berbadan hitam loreng-loreng, berkepala manusia berwajah seram dan hitam, rambutnya terurai, taringnya panjang, giginya runcing, matanya lebar dan menyala keluar api berwarna hijau, mempunyai ekor panjang warnannya loreng hitam putih.
Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali, Leak Desti ada juga berbentuk binatang yang namanya Bebae yaitu sejenis binatang kambing berbulu putih mulus, mempunyai telinga panjang menjulur kebawah sampai menyentuh tanah. Leak Desti ini sasarannya adalah orang-orang yang penakut sehingga kalau orang yang ketakutan ini melihat leak Desti maka ia akan lari terbirit-birit dan bisa terjatuh dan pada saat jatuh itulah maka Leak Desti ini akan menyerang dan akan mengisap darah orang yang terjatuh tadi.
Disamping orang yang ketakutan juga bisa disasar anak-anak kecil terutama bayi-bayi sehingga bayi-bayi itu bisa menangis terus-menerus dan tidak mau menyusu pada ibunya dan lama-lama sampai anak kecil tersebut jatuh sakit. Leak Desti ini di Bali ada penangkalnya yaitu melalui orang-orang Wiku yaitu orang yang sudah menguasai ilmu pengobatan yang disebut ilmu Usada Bali (pengobatan tradisional Bali).
Pada Jaman Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, ada seorang Abdi Kerajaan yang bernama I Gede Basur yang rumahnya ada di salah satu Desa di Daerah Pengunungan, yaitu di Desa Karang Pengastian. Pada waktu I Gede Basur masih hidup pernah menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu Lontar Durga Bhairawi dan Lontar Ratuning Kawisesan. Lontar ini memuat tentang tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti. Ngereh artinya proses perubahan wujud dari manusia menjadi Leak. Leak adalah wujud siluman jahat (setan). Desti adalah perwujudan binatang siluman manusia dalam bentuk binatang yang aneh dan seram.
TEHNIK NGEREH LEAK DESTI
Adapun Tehnik Ngereh Leak Desti tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam ajaran Agama Hindu mengenal tiga Kerangka Dasar yaitu Tatwa, Etika, Upakara. Jadi walaupun menjalankan ilmu pengeleakan mereka tetap melaksanakan tiga hal yaitu :
a. Tatwa berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan harus menyadari tentang ajarannya.
b. Etika berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan pasti akan melaksanakan mengenai tehnik-tehnik tingkah lakunya.
c. Upakara berarti orang yang menjalankan ilmu pengeleakan sudah tentunya melaksanakan upakara-upakara seperti menghaturkan sesajen (banten dalam bahasa bali) sebagai sarana upakara.
Sebelum Ngereh (proses perubahan wujud) menjadi Leak Desti, orang yang menjalankan pengeleakan terlebih dahulu melaksanakan beberapa tahapan kegiatan dengan melakukan berbagai permohonan. Adapun tahapan-tahapan kegiatan ngereh tersebut adalah sebagai berikut :
a. Memasang pasirep yaitu mengeluarkan ilmu kesaktian agar semua mahluk hidup yang ada di sekitarnya semuannya tertidur lelap.
b. Mencari tempat ngereh yaitu mencari tempat yang paling strategis dan aman seperti misalnya di Kuburan, pada perempatan jalan, atau bisa di sawah yang penting tempat tersebut sepi.
c. Mempersiapkan upakara berupa sarana banten yang berkaitan dengan ilmu pengeleakan.
d. Melakukan permohonan-permohonan agar proses ngereh dapat berlangsung sesuai dengan yang diinginkan kepada Tuhan dalam segala bentuk menifestasinya yaitu :
Pertama mohon kepada yang bernama Butha Peteng (perwujudan unsur alam gelap) untuk memagari tempatnya agar siapa yang lewat supaya tidak melihat, dilanjutkan kemudian dengan memasang ilmu pengreres (ilmu penakut) agar yang lewat menjadi ketakutan.
Kedua mohon kepada yang bernama Butha Keridan (perwujudan unsur alam terbalik) agar pengelihatan orang bisa terbalik yaitu yang di atas bisa terlihat di bawah.
Ketiga secara berturut-turut mohon kepada yang bernama Sang Kala Jingkrak, Butha Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan terakhir mohon kepada yang bernama sang Butha Kapiragan, agar segala permohonannya bisa terkabul.
Sang Kala Jingkrak, Butha Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan Butha Kapiragan adalah nama-nama Butha Kala yang menguasai Ilmu Pengleakan.
Keempat setelah proses permohonan selesai, dilanjutkan dengan kegiatan muspa (sembahyang) dengan posisi badan terbalik yang dilanjutkan dengan nengkleng (berdiri dengan kaki satu) berjalan nengkleng mengitari “sanggah cucuk” (tempat menaruh sesajen yang terbuat dari batang bambu), sesuai dengan tingkat ilmunya dengan posisi putaran berjalan nengkleng kearah kiri.
Dengan melalui ngereh tersebut diatas maka orang yang menguasai ilmu pengeleakan bisa berubah wujud sesuai tingkat ilmu pengeleakan yang dikuasainya yaitu kalau tingkat Desti maka orang tersebut bisa berubah wujud menjadi binatang yang aneh-aneh dan seram, begitulah ilmu pengeleakan yang dikuasai oleh I Gede Basur sehingga dia diantara para abdi kerajaan yang paling ditakuti dan paling diandalkan sebagai Tabeng Dada.
Guru Ilmu Pengiwa leak Desti
Sebagai seorang Abdi Kerajaan I Gede Basur sangatlah menguasai ilmu pengiwa leak desti. Ilmu pengiwa adalah ilmu kewisesan dari aliran kiri atau aliran ilmu hitam. Atas kedigjayaannya tersebut menyebabkan I Gede Basur menjadi sangat terkenal sampai ke pelosok desa. Sehingga saat itu banyak sekali orang yang datang ke rumahnya. Ada yang datang dengan tujuan untuk belajar ilmu pengiwa, dan banyak pula yang datang hanya untuk mendapat pekakas atau penganggo atau jimat-jimat sakti atau bertuah sesuai dengan keinginan orang tersebut.
Banyak pula yang datang untuk mendapatkan sarana pengleakan di tempat I Gede Basur yang sakti. Sarana tersebut seperti : pengasren (semacam pelet), yakni sarana magis agar orang yang bersangkutan menjadi kelihatan selalu cantik dan tampan, awet muda dan mempunyai daya pikat yang tinggi. Dengan sarana tersebut orang akan mudah dapat memikat lawan jenis yang dikehendakinya. Kemudian ada pula yang disebut dengan pengeger (semacam penglaris) yang dapat menyebabkan si pemakai menjadi laris dalam berdagang atau berusaha, dengan harapan si pemakai menjadi semakin kaya. Kemudian ada pula yang disebut dengan pengasih-asih, yakni sarana yang dapat membuat orang menjadi jatuh cinta kepada orang yang menggunakan sarana tersebut. Atau dapat pula disebut dengan sarana guna-guna. Seperti misalnya : guna lilit, guna jaran guyang, guna tuntung tangis, dan lain-lain macamnya. Ada pula yang datang ke tempat I Gede Basur hanya untuk mendapatkan penangkeb, yakni sarana gaib atau mistis agar orang lain atau orang banyak menjadi tunduk. Dengan demikian orang tersebut dapat mengendalikan, mengarahkan, menguasai, atau menyetir orang lain atau orang banyak sesuai dengan keinginannya. Orang yang telah terkena ilmu penangkeb tak ubahnya seperti kerbau yang dicocok hidungnya, sehingga akan menjadi penurut sesuai perintah atau keinginan dari orang yang mengenakan ilmu penangkeb.
Dengan tersohornya I Gede Basur tersebut menyebabkan orang-orang secara silih berganti datang ke rumahnya di Desa Karang Pengastian. Lebih-lebih pada dewasa bagus atau pada hari Kajeng Kliwon misalnya, sangat banyak dan ramai orang datang ke rumahnya dengan berbagai macam keperluan. Diceritakan kemudian I Gede Basur juga mempunyai banyak sisya atau murid yang belajar ilmu pengiwa leak desti.
I Gede Basur disertai oleh seluruh murid-muridnya tekun melakukan dewasraya, mohon kehadapan Hyang Betari Durga agar pengiwa yang mereka pelajari menjadi sakti dan manjur. Didahului dengan melakukan penyucian diri. Kemudian tatkala malam mereka menuju Kayangan Pengulun Setra, memohon kehadapan Hyang Betari bersaranakan sesajen seperti : sebuah daksina, uang kepeng, canang, ketipat kelanan, arak berem, injin, dupa, menyan, canang lenge wangi burat wangi, nyahnyah, gegringsingan, geti-geti, dan pisang mas. Kemudian duduk bersila di hadapan kayangan, bersemedi memanunggalkan bayu atau tenaga, sabda atau suara, idep atau pikiran, memohon anugrah kehadapan Hyang Nini Betari Bagawati atau Ida Betari Durga Dewi.
Kewisesan yang diporolehnya kemudian disebarluaskan secara rahasia dengan menggunakan sarana seperti mas, mirah, tembaga, kertas merajah, dan lain-lain. Ada pula dalam bentuk bebuntilan (bungkusan kecil yang berisikan sarana tertentu). Si pemakai pengiwa tersebut juga diberikan rerajahan ongkara sungsang (ongkara terbalik) pada lidah, gigi, kuku, atau bagian tubuh tertentu lainnya. Atau ada pula penggunaan pengiwa dengan jalan maled (menelan sarana yang diberikan oleh gurunya). Sarana pengiwa tersebut dibakar sebelumnya, kemudian abunya dibungkus dengan buah pisang mas, dan kemudian ditelan. Setelah itu didorong masuk ke dalam tubuh dengan menggunakan tirta atau air suci.
Selain dari itu, ada pula praktek pengiwa yang disebut pepasangan, yakni sarana yang ditanam pada tempat tertentu oleh orang yang bisa melakukan pengiwa. Tujuannya adalah untuk mengenai korbannya sesuai dengan yang diingini si pemasang. Dapat berupa sarana tulang manusia yang dibungkus, atau berupa bubuk tulang yang ditaburkan pada pekarangan rumah orang yang akan dijadikan korban. Dengan adanya pepasangan itu menjadikan situasi rumah tersebut menjadi agak lain, agak seram, penghuninya sakit-sakitan, sering cekcok, dan lain-lain.
Yang lebih hebat lagi ada yang disebut dengan sesawangan, yakni kemampuan seseorang yang mempraktekkan ilmu pengiwa hanya dengan membayangkan wajah atau hanya nama dari calon korban. Sesawangan juga disebut dengan umik-umikan atau acep-acepan atau doa-doa. Dengan kemampuan ini seseorang yang melaksanakannya dapat mencapai korbannya, walaupun dia bersembunyi di balik dinding beton yang tebal dan kuat. Adanya ilmu ini makanya sering kita mendengar kalimat seperti berikut : “walaupun engkau berlindung di dalam gedong batu yang terkunci rapat, aku akan dapat mencapaimu”. Mungkin ilmu sesawanganlah yang digunakan orang tersebut.
Kemudian kalau berbicara mengenai ilmu kewisesan khususnya pengiwa, maka tidak lengkap kalau tidak mengetahui ilmu cetik atau cara meracun orang atau korban. Cetik tersebut identik dengan racun. Ada cetik sekala dan ada cetik niskala. Cetik sekala diartikan bahwa meracun dengan menggunakan sarana tertentu yang tampak nyata, seperti cetik gringsing, cetik cadang galeng, cetik kerikan gangsa, dan lain-lain. Kemudian cetik niskala adalah meracun korban atau orang dengan sarana yang tidak kelihatan. Cetik ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu pengiwa yang sudah tinggi. Hanya dengan memandangi makanan atau minuman saja, maka korbannya akan menjadi sakit seperti yang dikehendaki. Jadi boleh dibilang cetik ini tanpa memerlukan sarana, karena tidak kelihatan.
Tingkatan pengiwa pun sebenarnya sangat banyak. Namun karena suatu kerahasiaan yang tinggi, jadinya tidak banyak orang yang mengetahui. Mungkin hanya sebagian kecil saja dari nama-nama tingkatan tersebut sering terdengar, karena semua ini adalah sangat rahasia. Dan tingkatan-tingkatan yang disampaikan pun kadangkala antara satu perguruan dengan perguruan yang lainnya berbeda. Demikian pula dengan penamaan dari masing-masing tingkatan ada suatu perbedaan. Namun sekali lagi, semuanya tidak jelas betul, karena sifatnya sangat rahasia, karena memang begitulah hukumnya.
Dari sekian macam ilmu pengiwa, ada beberapa yang sering disebut seperti Bajra Kalika yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang, dan Aras Ijomaya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala, Pudak Setegal, Belegod Dewa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog. Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.
Di samping itu, ada tingkatan pengiwa yang mungkin digolongkan tingkat tinggi seperti : Surya Gading, Brahma Kaya, I Wangkas Candi Api, I Ratna Pajajaran, Garuda Emas, Siwer Emas, Baligodawa, Surya Emas, dan Sang Hyang Aji Rimrim.
Di lain pihak ada pula disebutkan bermacam-macam ilmu pengiwa seperti : Kereb Akasa, Pudak Setegal, Geni Sabuana, Siwa Wijaya, Cambra Berag, Rambut Sepetik, Maduri Geges, Pengiwa Swanda, Brahma Maya Murti, Aji Calon Arang, Ratna Geni Sudamala, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Pangenduh, Desti Angker, Gringsing Wayang, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Sang Hyang Sumedang, I Tumpang Wredha, Penyusup Bayu, Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Ratu Sumedang, Sang Hyang Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah. Hanya mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Demikian I Gede Basur menerapkan dan menyebarkan ilmu pengiwa kepada murid-muridnya yang semakin hari semakin bertambah banyak. Semua dari mereka telah menjadi orang-orang yang tangguh dalam urusan pengiwa.
I Gede Basur ini orangnya sangat terkenal karena kesaktiannya dengan ilmu pengeleakan desti, dan dia pernah membuat geger orang-orang desanya karena serangan leak destinya, yang mengakibatkan warga desanya menjadi sangat ketakutan tidak berani keluar malam hari karena siapa yang keluar pada malam hari akan diserang oleh leak desti yang bisa mengisap darah manusia.
Untuk lebih jelasnya tentang kisah Leak Desti I Gede Basur, ceritanya adalah sebagai berikut :
I Gede Basur dalam sehari-harinya hidup sebagai Abdi Kerajaan Udayana yaitu sebagai Tabeng Dada Kerajaan, yaitu Tabeng artinya pelindung dan dada artinya dada pada tubuh manusia. Tabeng Dada ini adalah sejenis Pasukan Khusus Kerajaan yang tugasnya melindungi Raja apabila ada marabahaya. I Gede Basur ini punya putra satu orang yang bernama I Wayan Tigaron yaitu merupakan putra kesayangan dan putra satu-satunya. I Wayan Tigaron jatuh cinta pada Ni Wayan Sukasti yaitu putri dari I Made Tanu, walaupun I Wayan Tigaron ini orangnya sangat kaya, anak seorang abdi kerajaan, tetapi cintanya tetap di tolak oleh Ni Wayan Sukasti karena alasannya ia sudah punya pacar yang barnama I Nyoman Tirta yaitu seorang pemuda tampan dan bijaksana.
Karena cintanya ditolak oleh Ni Wayan Sukasti, maka I Wayan Tigaron sangat marah dan hal ini disampaikan kepada orang tuanya. I Gede Basur selaku orang tuanya sangat sayang pada anaknya dan menyarankan kepada I Wayan Tigaron agar mencari dan mencintai gadis lain karena di desanya banyak juga gadis-gadis cantik yang tidak kalah cantiknya dengan Ni Wayan Sukasti. Dinasehati oleh orang tuanya, malah I Wayan Tigaron mengancam mau bunuh diri apabila tidak bisa kawin dengan Ni Wayan Sukasti. Melihat anaknya nekad seperti itu, maka I Gede Basur terpaksa mengajak anaknya I Wayan Tigaron untuk langsung melamar Ni Wayan Sukasti ke rumahnya. Setelah sampai di rumah Ni Wayan Sukasti, maka I Gede Basur langsung di sapa oleh I Made Tanu yaitu orang tua Ni Wayan Sukasti dan menanyakan tentang maksud kedatangannya. I Gede Basur menjawab bahwa kedatangannya kesini adalah tidak ada lain untuk melamar Ni Wayan Sukasti untuk dijadikan istri I Wayan Tigaron. I Made Tanu tidak berani membuat keputusan dan soal cinta tetap menyerahkan penuh pada putrinya Ni Wayan Sukasti, sedangkan Ni Wayan Sukasti sendiri tidak keluar-keluar dari kamarnya karena ia tidak mencintai I Wayan Tigaron. Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali Belum selesai pembicaraan I Gede Basur dengan I Made Tanu, tiba-tiba datang dua orang laki-laki yang ternyata I Nyoman Tirta bersama ayahnya. Baru yang dilihat I Nyoman Tirta datang kemudian Ni Wayan Sukasti dengan segera keluar dari kamarnya menumui I Nyoman Tirta dan menyapa dengan ramah dengan berkata Kakak Nyoman baru datang dan langsung mempersilahkan kepada I Nyoman Tirta dan Ayahnya duduk.
Melihat kelakuan Ni Wayan Sukasti demikian, maka I Gede Basur merasa tersinggung dan sangat marah karena merasa dipermalukan di depan orang yang bernama I Nyoman Tirta. I Gede Basur karena merasa dirinya sebagai Abdi Kerajaan yaitu sebagai Tabeng Dada Kerajaan, maka dia maunya memaksa I Made Tanu agar menyerahkan putrinya Ni Wayan Sukasti supaya menikah dengan I Wayan Tigaron. I Made Tanu tidak bisa berbuat apa-apa karena soal cinta dia menyerahkan sepenuhnya kepada putrinya. Ni Wayan Sukasti menolak mentah-mentah lamaran paksa dari I Gede Basur, sehingga hal inilah yang membuat I Gede Basur menjadi marah dan penasaran. I Gede Basur mengancam Ni Wayan Sukasti dengan serangan desti yang membahayakan hidupnya dan I Gede Basur tanpa pamit kepada I Made Tanu langsung mengajak putranya I Wayan Tigaron pulang ke rumahnya.
Leak Aneka Rupa
Diceritakan ketika tengah malam tiba I Gede Basur memanggil istri dan putranya I Wayan Tigaron untuk duduk berkumpul di bale daja (balai yang ada di sebelah utara). I Gede Basur kemudian memberikan wejangan kepada semuanya “wahai istri dan anakku, karena Ni Wayan Sukasti tidak mau kawin dengan I Wayan Tigaron, maka kita semua sepatutnya waspada dan hati-hati. Karena tanpa diduga-duga musuh pasti akan menghampiri dan menyerang kita. Untuk melindungi diri, maka aku I Gede Basur akan menurunkan semua yang aku miliki untuk kalian semua. Ilmu pengiwa yang dulu dianugrahkan oleh Ida Betari Durga Bhairawi, akan aku turunkan kepadamu. Ilmu ini akan aku masukkan ke dalam jiwa ragamu sekalian. Ilmu ini sangatlah rahasia, dan tidak boleh dibicarakan atau digunakan sembarangan”. Demikian I Gede Basur memulai acara tersebut.
Untuk persiapan tersebut, I Gede Basur menyuruh istri dan anaknya untuk membersihkan diri dan berkonsentrasi. Ketika semuanya sudah bersih dan ngulengin kayun (berkonsentrasi), pada saat itu I Gede Basur memulai prosesnya. Istri dan anaknya diberikan rerajahan (gambar mistis atau magis) yang berisikan aksara atau tulisan sakti, sambil berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti. Rerajahan tersebut diberikan pada bagian buku-buku (persendian), layah (lidah), mata, gigi, gidat (kening), dan paban (ubun-ubun). Dilengkapi pula dengan sesaji yang diperlukan. Setelah semua dirajah, maka I Gede Basur kemudian kembali berkata “sekarang dengarkanlah baik-baik apa yang aku katakan mengenai ilmu yang aku turunkan kepadamu sekalian. Agar tidak salah dalam menggunakannya dikemudian hari. Kamu istriku, aku berikan ilmu yang bernama Aji Ratuning Kawisesan. Sangat sakti ilmu tersebut. I Wayan Tigaron aku turunkan ilmu yang bernama Aji Siwer Emas. Demikian adalah ilmu kewisesan pengiwa yang aku turunkan kepadamu. Ilmu ini adalah ilmu atau ajian yang sangat rahasia. Hanya kita saja yang tahu semua ini, dan aku harap tidak ada yang bercerita sembarangan mengenai ilmu yang kita miliki”. Demikian I Gede Basur memberikan wejangan setelah menurunkan ilmu tersebut dan mulai saat itu istri dan anaknya menjadi sisya atau murid-muridnya.
Selain istri dan anaknya, I Gede Basur juga diceritakan mempunyai sisya atau murid-murid sebanyak tiga puluh tujuh orang. Semuanya berasal dari desa lain jauh dari Desa Karang Pengastian. Mereka diusir dari desanya masing-masing karena kentara mempraktekkan ilmu pengeleakan di desanya terdahulu. Setelah mereka diusir, kemudian mereka berkumpul dan menjadi muridnya I Gede Basur. Mereka tersebut semuanya telah menguasai ilmu kewisesan pengiwa dalam berbagai tingkatan. Mereka telah melakukan ilmu desti, teluh, dan terangjana. Mereka telah lihai dalam membuat cetik, menebar pepasangan, bebai, dan lain-lain. Murid-murid ini sangatlah beraneka ragam kewisesannya.
Semenjak menginjakkan kakinya di Desa Karang Pengastian I Gede Basur telah membentengi dirinya dengan berbagai gegemet (jimat) pelindung. Demikian pula dengan pekarangan rumahnya yang penuh dengan berbagai macam pelindung yang kekuatannya sangat tinggi. Berbagai jenis tumbal rerajahan (pelindung) dipasang di tengah pekarangan rumah, di angkul-angkul, dan lain-lain.
Dengan demikian orang yang ingin berbuat tidak baik akan melihat rumah I Gede Basur dilindungi kerangkeng besi yang kokoh dan tidak bisa ditembus. Sehingga orang tersebut akan mengurungkan niatnya untuk mencelakai si pemilik rumah. Atau dengan tumbal rerajahan yang digelar tersebut mengakibatkan rumah tersebut kelihatan kosong atau tak berpenghuni, atau rumah I Gede Basur tampak seperti lapangan luas yang kosong. Ada pula tumbal rerajahan yang memungkinkan orang masuk ke dalam pekarangan rumah, namun setelah sampai di dalam pekarangan mereka menjadi bingung mencari jalan keluar. Sehingga orang yang berbuat jahat tersebut menjadi ketahuan atau kentara, dan tampak kebingungan. Ada pula pengaruh tumbal rerajahan yang menyebabkan orang telah masuk ke pekarangan rumah, kemudian mengalami tipuan pandangan, seolah-olah ia berada dalam air yang dalam. Sehingga orang tersebut bergelagat seperti berenang di laut. Padahal itu, hanyalah sebuah tipuan maya, akibat dari tumbal rerajahan yang digelar.
Setelah beberapa lama semenjak I Gede Basur menurunkan ilmunya kepada anggota keluarganya, kini ia akan merencanakan untuk mengadakan pembalasan sesuai dengan apa yang ia katakan di hadapan Ni Wayan Sukasti beberapa hari sebelumnya. I Gede Basur mulai menyiapkan segala sesuatu sesuai yang diperlukan untuk tujuan tersebut. termasuk pula persiapan mental mereka yang akan diterjunkan dalam aksi balas dendam terhadap orang-orang yang ada di rumah Ni Wayan Sukasti. I Gede Basur berencana mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya dengan melibatkan seluruh sisyanya. Setelah semuanya merasa siap kini I Gede Basur hanya tinggal menunggu hari yang baik untuk hal tersebut.
Setelah beberapa lama menunggu, maka hari baik yang ditunggu-tunggu telah datang. Hari tersebut adalah hari Weraspati Kajeng Kliwon nemoning tilem (hari kemis kliwon bertepatan dengan bulan mati). Pada mala hari I Gede Basur yang diiringi oleh istri, anak, dan seluruh sisyanya berangkat menuju ke setra atau kuburan yang letaknya jauh di pinggir Desa Karang Pengastian.
Suasananya sangat gelap, karena bertepatan dengan tilem, suasana sunyi senyap karena mereka berjalan di tengah malam. Sangat terasa keangkeran malam itu. Ditambah pula dengan kuburan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon besar seperti pohon beringin, kepuh, kepah, pule, dan tanaman jaka tunggul. Suasana menjadi mencekam yang terasa membuat bulu kuduk seluruh badan menjadi berdiri.
Sesampainya di setra, rombongan I Gede Basur mengambil tempat di tengah tunon atau pemuwunan (areal pembakaran mayat). Di kegelapan malam mereka mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjalankan ilmu pengeleakan tingkat tinggi dan memuja Ida Betari. I Gede Basur duduk bersila di tengah-tengah memusatkan pikiran, menyatukan bayu, sabda, idep, mohon restu dan anugrah kehadapan Ida Betari agar pengiwa yang digelar menjadi sempurna dan sakti mandraguna.
Sambil mata terpejam, I Gede Basur berkomat-kamit mengucapkan mantra-mantra sakti dan rahasia. Demikian pula I Gede Basur didampingi oleh para sisyanya yang semua telah mengenakan kamben duur entud (kain setinggi lutut) dengan rurub putih merajah (kain putih bergambar mistis). Para sisya semuanya mengelilingi I Gede Basur sambil menari-nari, dangkrak-dingkrik, dangklang-dengkleng, dengan rambut megambahan (terurai). Semuanya larut dalam konsentrasi dan juga tarian mereka masing-masing, sampai akhirnya penestian mereka semuanya tasak (mencapai puncak). Ketika semuanya telah mencapai puncaknya, maka semuanya telah nyuti rupa (berubah wujud) menjadi berbagai macam rupa leak sesuai dengan tingkat ilmu yang dikuasai oleh murid-murid I Gede Basur. Ada yang berwujud bojok (kera), bangkal mecaling renggah (babi bertaring panjang), kambing, gegendu kebo mebatis telu (kerbau berkaki tiga), gegendu jaran mebatis tetelu (kuda berkaki tiga), cicing bengil (anjing kurus dan kotor), kreb kasa (untaian kain panjang putih), bade (usungan jenasah bertingkat), dan berbagai macam rupa yang menyeramkan. Para leak semuanya menjadi semakin riang gembira menari-nari ketika hujan gerimis turun dan membasahi tanah yang kering. Bau angid (gurih) yang muncul dari tanah kering tersiram air tersebut menambah gembiranya para leak.
Pada puncaknya, I Gede Basur kemudian terbangun dari duduknya dan menuding kepada semua leak muridnya dan berkata “wahai engkau muridku semuanya yang telah berubah wujud, laksanakanlah tugasmu sekarang sesuai dengan rencana kita. Pergilah ke rumah Ni Wayan Sukasti sekarang juga. Hancurkan Sukasti dan keluarganya itu, sakiti semua yang hidup disana agar mereka semua mampus. Berbuatlah sesuka hatimu disana. Tebarkan cetik, bebai, upas, wisya dan lain-lain yang kau miliki, sehingga mereka semuanya menjadi menderita. Keluarkan segala ilmu leak yang telah aku ajarkan kepadamu. Aku akan mengawasi engkau semua dari sini”. Demikian perintah I Gede Basur kepada seluruh sisyanya. Segera semuanya berubah menjadi endih (bola api) beraneka warna dan beterbangan ke angkasa pergi menuju Desa tempat tinggal Ni Wayan Sukasti dan keluarganya.
Apa yang menjadi ancaman I Gede Basur menjadi kenyataan yaitu pada hari ketiganya Ni Wayan Sukasti diserang desti sehingga ia jatuh sakit yaitu perutnya dirasakan sangat sakit kemudian muntah darah dan akhirnya lemas tak sadarkan diri. I Made Tanu orang tua Ni Wayan Sukasti sangat panik dan kemudian dia minta tolong kepada seorang Balian (dukun) untuk mengobati penyakit Ni Wayan Sukasti. Balian ini memang kebetulan datang ke rumah Ni Wayan Sukasti dan berlagak sombong bahwa dia adalah seorang Balian Sakti yang bisa menyembuhkan segala penyakit termasuk penyakit kena leak Desti. Karena penyakit Ni Wayan Sukasti sangat parah, maka Balian tersebut tidak bisa menyembuhkan Ni Wayan Sukasti dan malah Balian itu sendiri diserang oleh Leak Desti, sehingga Balian tersebut sakit perut dan muntah darah tak sadarkan diri. Ni Wayan Sukasti punya Kakek yang sering dijuluki dengan nama Kakek Wiku yaitu seorang Kakek yang menguasai ilmu pengobatan Usada Bali (Obat Tradisional Bali) dan sangat sakti.
“Siat Peteng” Mengadu Kewisesan
Diceritakan I Made Tanu minta bantuan kepada ayahnya yaitu Kakek Wiku dan telah mengumpulkan tokoh masyarakat dan penduduk yang mempunyai ilmu kanuragan atau ilmu kewisesan. Mereka semua dikumpulkan di rumah Kakek Wiku dan diberikan pengarahan mengenai rencana ada pertempuran dengan I Gede Basur dan sisyanya di malam hari.
Waktu yang ditetapkan untuk pertempuran telah tiba. Menjelang tengah malam mereka berangkat bersama dilengkapi pula dengan senjata tajam, sesikepan, gegemet-gegemet, dan juga sesabukan yaitu berupa jimat-jimat magis yang diyakini bisa melindungi dirinya. Bagi mereka yang menguasai ilmu kanuragan tinggi, langsung berangkat melalui udara, terbang menuju Desa Karang Pengastian. Sedangkan yang lainnya melakukan perjalanan darat secara beramai-ramai berjalan di tengah kegelapan malam. Kakek Wiku sendiri tidak ikut pada saat itu, karena masih melakukan tapa samadi dalam rangka ngeregepan kesaktian yaitu menunggalkan bayu (tenaga), sabda (suara), idep (pikiran) untuk membangkitkan ilmu kesaktian dalam dirinya.
Karena kesaktian I Gede Basur, maka kedatangan I Made Tanu dan teman-temannya telah diketahui sebelumnya. Sehingga I Gede Basur memerintahkan kepada seluruh sisya-sisyanya untuk bersiaga di perbatasan Desa Karang Pengastian. I Gede Basur beserta sisyanya telah bersiaga menyambut kedatangan para rombongan I Made Tanu yang akan menggempur I Gede Basur dan sisyanya. I Gede Basur telah menggelar semua ilmu yang dimiliki dan telah menyengker atau memagari Desa Karang Pengastian dengan penyengker atau pagar gaib, sehingga kekuatan musuh tidak dapat menembus pertahanan tersebut.
Pada tengah malam, sampailah para rombongan I Made Tanu di perbatasan Desa Karang Pengastian. Mereka langsung menggelar ajian yang mereka miliki dan menyerang musuh yang telah menghadang. Serangan tersebut kemudian dihadang oleh para murid I Gede Basur, sehingga terjadilah siat peteng (pertempuran ilmu kanuragan di malam hari) yang sangat dasyat. Bola-bola api beterbangan di antara kedua belah pihak. Taburan cahaya gemerlap aneka warna di angkasa yang saling berkelebat, berkejar-kejaran, dan saling berbenturan. Langit Karang Pengastian pada mala itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit yang jumlahnya ribuan. Memang sungguh-sungguh digjaya mereka semua. Tidak beberapa lama siat peteng berlangsung, serangan dari para rombongan I Made Tanu dapat dipatahkan oleh ketangguhan dari ilmu yang dimiliki oleh murid-murid I Gede Basur. Para rombongan I Made Tanu berhamburan berlari meninggalkan arena pertempuran karena terdesak. Mereka berusaha untuk menyelematkan diri. Setelah mengalami desakan dari pasukan leak Desti I Gede Basur di Karang Pengastian, maka para rombongan I Made Tanu memutuskan untuk berbalik dan kembali ke rumahnya, serta melaporkan semuanya kehadapan kakek Wiku yaitu Kakek Ni Wayan Sukasti.
Kekalahan I Made Tanu menyebabkan pasukan leak Desti bergembira. Mereka semua tertawa ngakak yang suaranya nyaring dan keras membelah angkasa. Suaranya mengalun, melengking memenuhi angkasa dan berpantulan di antara bukit-bukit. Sehingga terasa mengerikan sekali suasananya pada malam hari tersebut, mereka semua menari-nari di angkasa, berwujud bola-bola api saling berkejar-kejaran merayakan kemenangannya.
Kembali secara sekilas diceritakan keadaan di rumah Ni Wayan Sukasti. Para lelaki desa yang dewasa setiap hari berjaga-jaga pada malam hari. Sedangkan yang perempuan tinggal di rumah dan berkumpul dalam jumlah banyak. Karena tidak ada yang berani tidur atau tingal di rumah sendirian. Sebab suasana di rumah Ni Wayan Sukasti pada saat itu masih sangat mencekam. Lolongan anjing masih terus terdengar di malam hari. Mereka terus berjaga-jaga dan selalu memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar segera dibebaskan dari masalah penyakit desti tersebut. Demikian situasi di rumah Ni Wayan Sukasti setiap hari.
Kembali sekarang diceritakan mengenai perjalanan I Made Tanu beserta dengan rombongan yang kalah perang. Pada pagi hari mereka telah sampai di rumah Kakek Wiku. Segera mereka menghadap Kakek Wiku dan melaporkan segala sesuatunya. Melihat rombongan I Made Tanu yang datang tampak utuh semuanya, Kakek Wiku tampak merasa gembira. Namun ketika mendengar semua laporan dari I Made Tanu, Kakek Wiku menjadi kaget dan semakin susah hati beliau.
I Made Tanu berkata kepada ayahnya (Kakek Wiku) : “Mohon ampun ayah, saya permaklumkan bahwa murid-murid I Gede Basur benar-benar teguh (kuat). Rombongan kami tidak mampu mengalahkannya.” Demikian permakluman I Made Tanu kehadapan ayahnya Si Kakek Wiku.
Kakek Wiku yang bijaksana kemudian bersabda “wahai Made Tanu beserta semua para kanti, kalah menang dalam peperangan sudah menjadi hukumnya. Janganlah berputus asa. Karena masih ada waktu dan masih ada cara lain utnuk menumpas I Gede Basur beserta dengan antek-anteknya. Gempur kembali I Gede Basur. Kalau tidak mampu di malam hari, gempurlah ia di siang hari. Kalau tidak bisa dengan seratus orang, maka gempurlah ia dengan seribu orang”. “Harus kalian ingat mengenai Swadharmaning ring payudhan (kewajiban dalam pertempuran). Dalam Shanti Parwa disebutkan bhawa apabila mati dalam peperangan, maka darah yang mengalir muncrat akan menghapus segala dosamu. Dan Sang Jiwa atau Sang Atma akan menuju Indraloka. Itulah yang hendaknya diingat dan dijadikan pedoman. Semuanya itu adalah merupakan sebuah pengorbanan yang suci atau yadnya yang digolongkan yadnya utama”. Demikian kakek Wiku memberikan wejangan kepada I Made Tanu dan para kantinya (teman- temannya) yang hampir putus asa karena kalah perang.
Mendengar wejangan tersebut, I Made Tanu beserta dengan para kantinya merasakan hidup kembali dan bersemangat. Bagaikan diberikan kekuatan bebayon (tenaga dalam), sehingga semangatnya tumbuh kembali. I Made Tanu kemudian berkata : “Baiklah ayahnda, sangat senang saya mendengar wejangan tersebut. Sekarang saya sadar dan yakin akan diri. Saya akan mebela pati dan metoh urip (membela mati-matian dan menyabung nyawa) menghadapi I Gede Basur beserta dengan murid-muridnya”. Pernyataan I MadeTanu tersebut dibarengi oleh seluruh para kantinya.
“Baiklah kalau begitu, Aku sebagai kakek Ni Wayan Sukasti sangat menghargainya. Untuk penyerangan kali ini aku akan membantunya dengan beberapa sissya kakek yang terpilih sebanyak dua ratus orang, sedangkan aku sendiri yang akan menghadapi langsung I Gede Basur.” Semua sisya ilmu putih akan mengawal dan membantu I Made Tanu dalam menumpas kejahatan yang dilakukan oleh I Gede Basur.
Setelah semua keputusan Kakek wiku disampaikan, para sisya ilmu putih kemudian membubarkan diri untuk persiapan penyerbuan kembali pada keesokan harinya. Segala sesuatu perlengkapan segera dipersiapkan seperti senjata tajam berupa tombak, keris, klewang, dan lain-lain. Demikian pula dengan berbagai sarana pelindung badan yang gaib sebagai sarana penolak atau penempur leak, sarana kekebalan, semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit (tempat rahasia). Yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan mengenai perbekalan makanan dan minuman yang diperlukan selama penyerangan. Ketika semua persiapan dianggap rampung, maka mereka pun istirahat agar tenaganya cukup kuat untuk penyerangan besok.
Hari yang ditentukan untuk penyerangan telah tiba, maka pada tengah malam penyerangan segera dilakukan dan pertarunganpun terjadi pada malam hari dengan ilmu kesaktiannya masing-masing, yang mana Ilmu Kesaktian I Gede Basur lebih rendah daripada Ilmu Kesaktian Kakek Wiku sehingga I Gede Basur pada pertarungan tersebut kalah.
I Gede Basur Haturkan Sembah
Dalam keadaan yang tidak berdaya kemudian I Gede Basur mengucapkan kata-katanya terakhir : “Wahai Kakek Wiku dan Made Tanu, sudahi peperangan ini sampai disini, sekarang mari kita bersatu kembali semuanya karena kita adalah satu dan tunggal kawitan. Setelah sekian lama kita bersengketa dan bermusuhan kini mari kita bersatu kembali. Wahai Made Tanu, semua yang saya lakukan ini adalah karena saya ingin agar anak saya I Wayan Tigaron bisa mendapatkan gadis idamannya Ni Wayan Sukasti untuk dijadikan istri.
Demikian juga untuk mengingatkan kepada seluruh manusia agar selalu ingat dalam persaudaraan dan tidak melupakan kawitannya”. “Pada akhir dari hidup saya di dunia ini, saya mohon ampun kehadapan Made Tanu. Karena saya telah berbuat yang menyebabkan Ni Wayan Sukasti sakit. Saya harus menebus semua dosa-dosa yang telah saya perbuat, dan menanggung semua karmapala atas semua yang telah saya perbuat. Itulah yang dapat saya katakan, dan sekarang saya mohon pamit”. Demikian I Gede Basur menyampaikan kata-kata terakhirnya kehadapan semua yang ada di sana, sambil menyakupkan kedua belah tangannya. Ketika itu pula I Gede Basur dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir. Hujan gerimis mengiringi kepergian I Gede Basur ke Sunialoka. Suasana yang tadinya penuh dengan kebencian dan kemarahan, kini berubah menjadi suasana haru.
Kematian I Gede Basur kemudian membuat geger Desa Karang Pengastian. I Gede Basur dinyatakan bersalah atas semua tingkah lakunya tersebut.
Berdasarkan atas hal tersebut, maka Kakek Wiku memerintahkan agar memperlakukan jasad I Gede Basur untuk dibuatkan upacara sebagaimana mestinya. Demikian pula seluruh murid-murid I Gede Basur yang semuanya adalah rakyat Desa Karang Pengastian yang gugur semuanya segera dibuatkan upacara. Kakek Wiku menitahkan untuk melaksanakan upacara Pitra Yadnya atau pengabenan secara bersama-sama atau ngerit.
Mengingat tugas yang dititahkan oleh Kakek Wiku telah selesai, para sisya Kakek Wiku berniat kembali pulang ke rumah masing-masing, Kakek Wikupun tidak berkeberatan. Namun sebelum bertolak, Kakek Wiku berkata kepada para sisya : “Wahai seluruh sisya, sekarang musuh telah dapat ditumpas. Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada para sisya. Sekarang saya akan menyelesaikan urusan upacara ini semuanya terdahulu.
Sekarang diceritakan mengenai kesibukan dari seluruh masyarakat yang akan menyelenggarakan upacara pembersihan terhadap jasad para korban yang meninggal dalam suatu ngaben massal atau ngerit. Para sisya Kakek Wiku dan para murid I Gede Basur yang meninggal dalam pertempuran mendapat perlakuan upacara yang sama. Semua jasadnya akan dibakar di setra agung untuk mempercepat pengembalian jasadnya ke alam menjadi unsur-unsur alam yang disebut dengan Panca Maha Buta yang terdiri dari bayu (angin), apah (air), teja (panas atau sinar), pertiwi (tanah), dan akasa (ruang kosong). Demikian agar jiwa mereka mendapatkan kesucian dan ketenangan, untuk menuju ke alam sunya (akhirat) sesuai dengan karmanya masing-masing selama hidup di mercapada (dunia ini).
Tabeng Dada Gede Basur Penguasa Ilmu Leak Desti Di Bali. Sebab para krabat dan handai taulan akan mengantar si meninggal hanya sampai di tempat pembakaran mayat atau kuburan. Setelah itu akan membalikkan badan dan meninggalkan si meninggal. Hanya subhakarma dan asubhakarma (perbuatan baik dan perbuatan buruk) yang pernah dilakukan yang akan menemani si meninggal menuju alam berikutnya. Sedangkan badan atau paras muka yang cantik atau tampan akan menjadi hancur, harta benda, dan lain-lain semuanya tidak bisa dibawa serta. Hanya karmalah yang akan menjadi pengikut setia. Demikian diungkapkan dalam pustaka suci Sarasamuscaya.
Diceritakan sangat ramai sekali yadnya yang dibangun masyarakat Desa Karang Pengastian secara bersama-sama dan bergotong royong. Berbagai macam petulangan (wadah tulang) dibuat, demikian pula dengan bade (usungan jenasah) dibuat dengan seindah mungkin. Ada bade bertumpang pitu (tingkat tujuh), tumpang sanga (tingkat sembilan), ada lembu hitam, lembu putih, ada pula berbentuk singa. Semuanya dibuat seindah mungkin yang dibuat oleh para undagi (tukang wadah atau tukang bade). Dengan beraneka warna kapas yang ditempatkan pada sarana bade tersebut.
Para wanita sibuk mempersiapkan tetandingan-tetandingan yang diperlukan untuk upacara ngaben tersebut. Setelah semuanya selesai dipersiapkan maka upacara pengabenan tersebut pun diselenggarakan dengan mengambil tempat di pemuwunan setra agung. Gambelan angklung, gong saron, dan beleganjur sudah saling bersahutan dari sejak pagi. Semua wadah, lembu, di berangkatkan menuju ke tempat upacara. Sangat ramai kalau diceritakan. Ketika itu dipentaskan tari ketekok jago, sebagai tari pengantar sang jiwa menuju ke suniakola. Ida Sang Sulinggih memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan memberikan penyucian kepada semua arwah yang diaben. Dan pada akhir upacara tersebut, semua tulang-tulang dihanyutkan ke segara (laut).
Berselang satu bulan tujuh hari semenjak upacara pengabenan tersebut, kemudian dilakukan upacara memukur atau atma wedana atau meligia, sampai akhirnya para pitra (atma) yang disucikan tersebut dilinggihkan (distanakan) di merajan rong tiga atau tempat suci keluarga masing-masing. Dengan demikian, rentetan upacara Pitra Yadnya tersebut telah rampung. Dengan harapan semua yang telah meninggal mendapatkan kesucian dan ketenangan, dan tidak ada lagi atma kesasar (roh gentayangan). Di samping itu pula, bagi mereka yang masih hidup agar diberkahi kesejahteraan.
Terhadap sisya yang masih hidup, namun mengalami luka-luka juga mendapatkan perawatan. Mereka semua diberikan obat, termasuk pula mereka yang terkena imbas ilmu hitam ketika siat peteng terdahulu. Semuanya mendapatkan perhatian sungguh-sungguh, atas kebijaksanaan dari Kakek Wiku. Diceritakan setelah beberapa lama kemudian, semua prajurit yang terluka dan kena imbas ilmu hitam mengalami kesembuhan seperti sedia kala atas asung wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa (atas kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan).
Diceritakan Ni Wayan Sukasti bahwa, dengan meninggalnya I Gede Basur, maka Ni Wayan Sukasti akhirnya sembuh seperti sedia kala tanpa diobati dan kemudian dilangsungkan dengan acara pernikahan antara Ni Wayan Sukasti dengan I Nyoman Tirta. Leak Desti yang merupakan warisan dari I Gede Basur, sampai saat sekarang ilmu tersebut masih berkembang di Bali, karena ada generasi penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.