Tuesday, June 16, 2015

PENGERTIAN ATMAN

Atman Widya
1 Pengertian Atman
            Atman adalah sinar suci / bagian terkecil dari Brahman ( Tuhan Yang Maha Esa ). Atman berasal dari kata AN yang berarti bernafas. Setiap yang bernafas mempunyai atman, sehingga mereka dapat hidup. Atman adalah hidupnya semua makluk ( manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya ). Kitab suci Bhagawad gita menyebutkan sebagai berikut :
“aham atma gudakeda, sarwabhutasyaathi, aham adis camadhyam ca, bhutanam anta eva ca”
artinya :
O, Arjuna, aku adalah atma, menetap dalam hati semua makluk, aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir daripada semua makluk.
            Dari kutipan sloka diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa atman itu merupakan bagian dari Tuhan ( Sang Hyang Widi ). Bila Tuhan diibaratkan lautan maka atman itu hanyalah setitik uap embun dari uap airnya. Bila Tuhan diibaratkan matahari maka atman itu merupakan percikan terkecil dari sinarnya. Demikianlah Tuhan asal atman sehingga Ia diberi gelar Paramatman yaitu atma yang tertinggi. Atman berasal dari Tuhan maka pada akhirnya atman kembali kepadanya. Seperti halnya setitik uap air laut yang kembali kelaut saat hujan turun, (Sudirga, Ida Bagus.2003;71). Jivatman adalah atman yang telah masuk kedalam tubuh (wadah), memberikan kekuatan dan hidup. Dan apabila mati atman akan keluar daru tubuh (wadah) dan disebut Roh.
Beda Atma dengan Roh
Di masyarakat ( khusus umat hindu di Bali ) sering salah kaprah mengenai pengertian atma / atman, dan dari pengertian tsb. seolah-olah atma orang yang telah meninggal menerima akibat dari semua perbuatannya selama hidup di mayapada ini.
Sesungguhnya Atma adalah sebuah "energi-hidup" yang bersumber dari Paramaatma ( sumber dari segala sumber hidup ), semua yang hidup memiliki atma; pada manusia disebut Jiwatman, pada binatang disebut Janggama dan pada tumbuhan disebut Sthawana.
Roh ( jiwa ) adalah gabungan dari Panca Tan Matra + Hredaya ( citta, budhi, manah dan ahamkara ) dan untuk kemudian kita yakini bahwa roh orang mati masih hidup di alam yang lain, oleh karenanya didalam roh tersebut ada atma.
Dengan sedikit penjelasan ini tentu membuka sedikit pengertian mengenai beda Atma dengan Roh, mudah-mudahan bermanfaat !!
Penyucian Roh (Atma)
1. Tujuan mensucikan roh (atma) adalah untuk menunggalkan roh (atma) dengan penciptanya, yaitu Ida Sanghyang Parama Kawi yang juga disebut sebagai Brahman atau Parama-atma.
2. Ketika masih hidup: tubuh dibersihkan dengan air; pikiran dibersihkan dengan kejujuran; jiwa dibersihkan dengan ilmu dan tapa (tapa = usaha untuk mengendalikan nafsu dan jasmani); akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Dapat juga dikatakan bahwa ketika masih hidup upaya mensucikan atman dilaksanakan dengan mengekang/ mengendalikan panca indria dengan cara menguatkan tapa -  berata – yoga – samadi.
3. Setelah meninggal dunia, melalui upacara Ngaben, atma dilepaskan dari bungkusan pertama, yaitu ikatan Stula Sarira (Panca Mahabuta), dan melalui upacara Nyekah, atma dilepaskan dari bungkusan kedua, yaitu ikatan Suksma Sarira (Panca Tanmatra).
4. Yang dimaksud dengan Panca Mahabuta adalah:
  1. Pertiwi             : tanah, bagian tubuh yang padat
  2. Apah               : air, bagian tubuh yang cair
  3. Teja                 : api, bagian tubuh yang bersuhu panas
  4. Bayu                : angin, bagian tubuh yang berangin/ nafas
  5. Akasa              : ether, bagian tubuh yang terhalus: rambut, syaraf, kuku dll
5. Yang dimaksud dengan Panca Tanmatra adalah:
  1. Ganda Tanmatra         : pengaruh indra penciuman di hidung terhadap pergerakan bagian tubuh yang padat terutama yang menggerakkan kaki.
  2. Rasa Tanmatra            : pengaruh indra perasa di lidah terhadap pergerakan bagian tubuh yang cair yaitu perut dan dubur.
  3. Rupa Tanmatra            : pengaruh indra penglihatan di mata (yang panas) terhadap pergerakan bagian tubuh terutama tangan
  4. Sparsa Tanmatra          : pengaruh indra perasa di kulit terhadap pergerakan bagian tubuh yang berangin (nafas) terutama kehidupan sex
  5. Sabda Tanmatra          : pengaruh indra pendengaran yang diterima oleh telinga terhadap bagian tubuh yang terhalus terutama syaraf yang menggerakan mulut dan pikiran.
6. Setelah atma dilepaskan dari bungkusan pertama dan kedua, atau dibebaskan dari kedua ikatan yaitu Panca Mahabuta dan Panca Tanmatra (Tanmatra = tidak kelihatan, tetapi dapat dirasakan) maka tinggalah Panca Karmaindria atau Karma Wasana, yaitu:
  1. Padaindria: karma wasana karena langkah kaki.
  2. Payuindria: karma wasana karena makanan.
  3. Panenindria: karma wasana karena gerakan tangan
  4. Upastenindria: karma wasana karena kehidupan sex
  5. Wakindria: karma wasana karena ucapan perkataan yang keluar dari mulut dan karma wasana karena pemikiran
7. Karma Wasana terus melekat pada atman, dan pada waktu upacara Mepaingkup, Karma Wasana inilah yang dinilai oleh Ida Sanghyang Parama Kawi untuk menetapkan kehidupan atman selanjutnya, apakah ber-reinkarnasi atau menyatu dengan-Nya.
8. Pemahaman ini dapat digambarkan sebagai berikut:
PANCA MAHABUTA
PANCA TANMATRA
PANCA KARMENDRIA
Pertiwi
Apah
Teja
Bayu
Akasa
Ganda Tanmatra
Rasa Tanmatra
Rupa Tanmatra
Sparsa Tanmatra
Sabda
            Tanmatra
Padendria
Payundria
Panendria
Upastendria
Wakindria
Musnah ketika Ngaben
Musnah ketika Nyekah
Sisa = Karmawasana
Doa Menenangkan Atma
Puja-nya sebagai berikut:
OM AYANTU PITARA DEWAH
AYANTU PITARA GANEM
AYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM LEPIYANTU PITARA DEWAH
LEPIYANTU PITARA GANEM
LEPIYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM BAJRANTU PITARA DEWAH
BAJRANTU PITARA GANEM
BAJRANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM PUSPANTU PITARA DEWAH
PUSPANTU PITARA GANEM
PUSPANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM TOYANTU PITARA DEWAH
TOYANTU PITARA GANEM
TOYANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM BAGIANTU PITARA DEWAH
BAGIANTU PITARA GANEM
BAGIANTU PITARA SARWA
YA NAMA SIWAYA
OM MOKSAHNTU, SWARGANTU, KSAMANTU, MURCANTU, SUNIANTU,
YA NAMA SIWAYA
Artinya: Tuhan, Hamba sudah memberikan upacara (ayantu) dan upakara (lepiyantu) kepada sang roh (pitara). Persembahan hamba berupa suara gentha (bajra), bunga (puspa), dan air (toya), mohon rohnya diberi kebahagiaan (bagaiantu), ketenangan di dalam-Mu (moksantu), di sorga (swargantu), di keheningan alam (ksamantu-murcantu-suniantu), semata-mata atas kebesaran-Mu (nama siwaya) !

2.1.2 Fungsi Atman
            Dalam hubungannya dengan maya, atman itu seolah – olah “terkurung” atau terbelenggu. Sehingga atman memiliki tiga fungsi, yaitu :
a)      Sebagai sumber hidup citta dan sthula sariranya makluk. Citta adalah alam pikiran, meliputi pikiran atau akal, perasaan kemauan inderanya dan instuisi. Sedangkan sthula sarira adalah badan wadah seperti darah, daging, tulang, lender, otot, sumsum, otak, dan sbagainya.
b)      Bertanggung jawab atas baik buruk atau amal dosa dari segala karmanya makluk yang bersangkutan.
c)      Menjadi tenaga hidup dari suksma sariranya makluk yang bersangkutan,(Sudirga, Ida Bagus.2003.73)
Sama halnya yang ada dalam modul srada yang menyebutkan ada tiga fungsi atman yaitu sebagai sumber hidup, sebagai yang bertanggung jawab atas karmawasana setiap manusia dan sebagai pemberi tenaga kehidupan.
2.1.3 Sifat – Sifat Atman
            Atman merupakan bagian dari Tuhan / tunggal adanya dengan Tuhan. Seperti halnya Tuhan yang memiliki sifat – sifat khusus, atman juga mempunyai sifat –sifat, seperti yang tertuang dalam Kitab Bhagawad Gita, yakni :
“na jayate mriyate va kadacin
nayam bhutva bhavita van a bhuyah
ajo nitya sasvato yam purano
na hayate hayamane sarire” (Bhagawad Gita II.20)
artinya :
Ia tidak pernah lahir dan juga tidak pernah mati atau setelah ada tak akan berhenti ada. Ia tak dilahirkan, kekal, abadi, sejak dahulu ada; dan Dia tidak mati pada saat badan jasmani ini mati.
“nai nam chindanti sastrani
nai namdahati pawakah
na cai nam kledayanty apo
na sosayati marutah” (Bhagawad Gita II.23)
artinya :
Senjata tak dapat melukai-Nya, dan api tak dapat membakar-Nya, angin tak dapat mengeringkan-Nya dan air tak dapat membasahi-Nya.
“acchedyo yam adahyo yam
akledyo sasya eva ca,
nittyah sarwagatah sthanur
acalo yam sanatanah”(Bhagawad Gita II.24)
artinya :
Sesungguhnya dia tidak dapat dilukai, dibakar dan juga tak dapat dikeringkan dan dibasahi; Dia kekal, meliputi segalanya, tak berubah, tak bergerak, dan abadi selamanya.
“Avyakto yam acityo yam
avikaryo yam ucyate,
tasmad evam viditvainam
nanusocitum arhasi”(Bhagawad Gita II.25)
artinya :
Dia tidak dapat diwujudkan dengan kata – kata, tak dapat dipikirkan dan dinyatakan, tak berubah – ubah; karena itu dengan mengetahui sebagaimana halnya, engkau tak perlu berduka.
            Berdasarkan uraian sloka – sloka Bhagawad Gita diatas dapat kita simpulkan sifat – sifat atman sebagai berikut :
a)      acchedya berarti tak terlukai senjata,
b)      adahya berarti tak terbakar oleh api,
c)      akledya berarti tak terkeringkan oleh angin,
d)     acesya berarti tak terbasahkan oleh air,
e)      nitya berarti abadi,
f)       sarwagatah berarti ada di mana-mana,
g)      sathanu berarti tidak berpindah – pindah,
h)      acala berarti tidak bergerak, sanatana berarti selalu sama dan kekal,
i)        awyakta berarti tidak dilahirkan,
j)        achintya berarti tak terpikirkan,
k)      awikara berarti tidak berubah,
l)        sanatana berarti selalu sama.
2.2.Pandangan Vedanta Tentang Atman
2.2.1 Atman menurut Advaita Vedanta
            Jiwa perorangan tidak bisa dipandang sebagai khayalan belaka dari Brahman, karena jiwa adalah Brahman. Hanya saja Brahman disini menampakan dirinya dengan sarana tambahan ( upadhi ), yang konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarana itu sendiri. Atman adalah Brahman seutuhnya sehingga atman mempunyai sifat yang sama dengan Brahman, yaitu berada dimana – mana, tanpa terikat ruang dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati. Dalam kehidupan sehari – hari ada keanekaragaman perorangan yang disebabkan oleh Avidya. Dalam keadaan avidya manusia tidak dapat membedakan dirinya yang sebenarnya dengan sarana – sarana tambahan ( upadhi ). Avidya atau ketidaktahuan mengakibatkan manusia mengalami segala macam penderitaan. Karma wasana juga termasuk dalam upadhi, sehingga karma wasana juga menyebabkan manusia menjadi avidya.(Sudiani, Ni Nyoman:2012.82)
2.2.2 Atman menurut Visistadvaita Vedanta
            Visistadvaita Vedanta menyatakan bahwa atman adalah bagian dari Brahman. Ibarat sebiji buah delima, buah delima merupakan Brahman, sedangkan biji-bijinya merupakan atman. Jivatman benar – benar bersifat pribadi dan secara mutlak nyata dan berbeda dengan Brahman. Sesungguhnya ia muncul dari Brahman dan tidak pernah diluar Brahman, tetapi sekalipun demikian ia menikmati keberadaan pribadi dan akan tetap merupakan sesuatu kepribadian selamanya. Setiap jiwa memperoleh badan ( tubuh ) sesuai dengan karmawasananya. Saat moksa jiwa tidak murni bersatu dengan Brahman, karena masih ada identitas sehingga jiwa hanya tinggal di Vaikuntha sebagai pelayan Brahman.(Sudiani, Ni Nyoman:2012.94)
2.2.3 Atman menurut Dvaita Vedanta
            Dalam sistem Dvaita Vedanta dikemukakan bahwa jiwa jumlahnya tidak terhitung. Tiap jiwa berbeda dengan jiwa yang lainnya. Setiap jiwa memiliki pengalaman, cacad dan sengsaranya sendiri. Jiwa – jiwa itu adalah kekal dan penuh kebahagiaan, karena adanya hubungan dengan benda maka jiwa itu mengalami penderitaan dan kelahiran yang berulang – ulang. Selama jiwa/atman tidak bebas dari ketidak murnian, mereka masih tersesat dalam Samsara, mengembara dari satu kelahiran ke kelahiran yang lainnya. Bila ketidak murnianya lepas mereka mencapai moksa atau pembebasan, tetapi roh tidak mencapai kesamaan dengan Brahman, namun hanya berhak melayani-Nya.(Sudiani, Ni Nyoman:2012.100-101)
2.3. Sloka – Sloka Yang Berhubungan Dengan Atman
“ dehino ‘smin yatha dehe
kaumaram yauvanam jara,
tatha dehantara-praptir
dhiras tatra na muhyati”.( Bhagawadgita II.13 )
artinya :
Sebagaimana halnya sang roh itu ada pada masa kecil, masa muda dan masa tua demikian juga dengan diperolehnya badan baru, orang bijaksana tak akan tergoyahkan.
“ matra-sparas tu kaunteya
sitosna-sukha-dukha-dah,
agamapayino nityas
tams titiksasva bharata”.( Bhagawadgita II.14 )
artinya :
Sesungguhnya, hubungan dengan benda- benda jasmaniah, wahai Arjuna, menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka, yang datang dan yang pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar, wahai arjuna.
“ sarva-bhuta-sthitam yo mam
bhajaty ekatvam asthitah,
sarvatha vartamano ‘pi
sa yogi mayi vartate”.( Bhagawadgita II.31 )
artinya :
Dia yang memuja Aku yang bersemayam pada semua insane, dengan tujuan manunggal, yogi yang demikian itu dapat tinggal dalam diri-Ku, walau bagaimanapun cara hidupnya.
“ atmaupamyena sarvatra
 samam pasyati yo ‘rjuna,
sukham va yadi va duhkham
sa yogi paramo matah”. ( Bhagawadgita VI.32 )
artinya :
Yogi yang dianggap tertinggi adalah yang melihat dimana – mana sama atman itu sebagai atman-nya sendiri, wahai Arjuna, baik dalam suka maupun duka.
“ ekorasasamutpanna ekanaksatrakanwittah,
na bhawanti  samacara yatha badarakantakah.( Slokantara 27-53 )
artinya :
Lahir dari perut ibu yang sama dan diwaktu yang sama, tetapi kelakuannya tidak akan sama. Manusia yang satu berlainan dengan manusia yang lainnya, sebagai berbedanya duri belatung yang satu dengan yang lainnya.
“ kadi rupa Sang Hyang Aditya an prakasakan iking sarwa loka mangkana ta sang Hyang atma an prakasakan iking sira marganyam wenang maprawartti.( Bhisma Parwa )
artinya :
Sebagai rupanya Sang Hyang Aditya menerangi dunia, demikianlah atma menerangi badan. Dialah yang menyebabkan kita dapat berbuat.

Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi, hanya dapat dinikmati bilamana roh seseorang (Jiwatman) dapat mencapai kesatuan dengan Hyang Widhi; karena kesatuan antara jiwatma dengan Hyang Widhi itu saja yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan tenang dan tenteram karena murninya jiwa (atma) yang disebut dalam istilah sanskrit Ananda. Didalam Bhagavad Gita VI, 20,21 dan 22 Çri Krsna menerangkan kepada Arjuna, mengenai Ananda atau kebahagiaan rohani yang kekal yang disebut oleh jiwatma dapat mencapai kesatuannya dengan Hyang Widhi (Paramatma), yang bunyinya sebagai berikut:
Bhagavad Gita VI.20
Yatroparamate cittam
niruddham yoga sewaya
yatro caiwa atmanatmanam
pasyam atmani tusyati.

maksudnya:
Bilamana hati (seseorang) merasa bahagia karena ditentramkan oleh latihan yoga; bilamana ia melihat Hyang Widhi (paramatma) dengan pengamatan rohnya (jiwatma), maka ia akan menikmati kebahagiaan rohani.
Bhagavad Gita VI.21
Sukham atyantikam yat tad
buddhigrahyam atinfriyam,
wetti yatra na caiwa yam,
athitaccalati tattwatah.

maksudnya:
Pada waktu ia menikmati kebahagiaan rohani yang tiada bandingnya, yang hanya dapat dicapai dengan budhi, yang lebih tinggi dari panca indra, tetap (menikmati kebahagiaan itu) tiada akan jauh berada dari Yang Mutlak.
Bhagavad Gita VI.22
Yam labdhwa caparam labham
manyate nadhikam tatah
yasmin sthito na duhkena,
gurunapi wicalayate.

maksudnya:
Setelah mendapat kebahagiaan yang ia pandang tiada terbanding itu dan tetap ada di dalam kebahagiaan itu, tiada ia akan gentar, walaupun ditimpa malapetaka yang hebat.
Tata Susila Hindu Dharma
oleh: Prof Dr. Ida Bagus Mantra
ATMA JNANA [MENGENAL / MENYADARI DIRI SEJATI]
Mengenal kesadaran Atma
[siapakah aku] ? Begitulah titik awal bagi para yogi di jalan Vedanta memulai evolusi bhatin mereka. Ini adalah titik berangkat evolusi bathin yang penting. Itu sebabnya di jalan Samkhya, Yoga dan Vedanta kita mengenal istilah Atma Jnana atau yang secara literal berarti pengetahuan atau mengetahui [jnana] tentang atman. Atma Jnana atau kesadaran murni adalah faktor kunci untuk merealisasi moksha [pembebasan dari realitas material/duniawi].
Banyak yang menerjemahkan atman sebagai roh [soul]. Ini adalah terjemahan yang bias dan salah, sebab dalam Hinduism sejatinya tidak dikenal adanya roh seperti dalam pemahaman agama lain. Atman dalam Hindu adalah bagian kecil dari Brahman. “Brahman Atman Aikyam”, Brahman dan Atman itu sama adanya [tidak berbeda]. Laksana setetes air dalam samudera yang maha luas. Atman dalam diri [manifestasi sebagai mahluk] disebut : Jivatman [Jiva Atman]. Jiva berarti mahluk hidup. Kalau Atman identik dengan Brahman, Jiva lebih menunjukkan kepada mahluk hidup sebagai individu. Jadi Atman sama dengan Brahman, sedangkan Atman yang yang diliputi oleh realitas material [Prakriti] disebut Jivatman.
Kebahagiaan dan penderitaan mahluk lain berarti kebahagiaan dan penderitaan diri sendiri. Menyiksa orang lain sama dengan menyiksa diri sendiri, karena jiwatman kita sendiri tunggal dengan jiwatman semua orang dan semua mahluk. Kesadaran akan tunggalnya jiwatman yang ada didalam diri kita sendiri dengan jiwatman semua mahluk, maka kita berhasrat melakuan amal saleh terhadap semuanya. Kesadaran akan tunggalnya jiwatma dengan Brahma, maka timbul hasrat untuk mempersatukan atman sendiri dengan Brahman (Hyang Widhi). Amal saleh dan kebajikan yang dilakukan untuk kesejahteraan sesama makhluk disebut dharma; dan kesatuan antara jiwatman dengan Brahman disebut moksa. Jalan untuk beramal saleh melakukan dharma disebut prawerti marga, dan jalan untuk mencapai kesatuan jiwatman dengan Brahman (moksa) disebut Niwrti marga. Setelah jiwatma dapat bersatu dengan Brahma, berarti telah menginjak alam moksa. Dan orang yang mendapat moksa disebut Mukti. Roh orang yang telah moksa menjadi murni dan sama dengan Brahman. Kemurnian Jiwatma ini menimbulkan suatu rasa bahagia yang tiada terbanding dan bahagia yang abadi yang disebut Ananda (kebahagiaan rohani). Di dalam Candogya Upanishad 6, 8, 7, terdapat suatu dalil yang bunyinya sebagai berikut
 “Tat Twam Asi”
yang artinya: Dikaulah itu, Dikalaulah (semua) itu; semua makhluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwatma) dan zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu. Oleh karena itu jiwatmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwatma semua makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu Aku adalah Engkau; aku adalah Brahma “Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka Upanisad 14.10.)
Menurut ajaran upanishad, tutur-tutur, dan Bhagavad Gita dikatakan bahwa ada satu atma yang memberi hidup kepada semua makhluk dan menggerakkan alam semesta yang disebut paramatma. Adapun atma yang terdapat di dalam diri tiap-tiap makhluk, adalah bagian dari paramatma itu. Bagian dari paramatma yang ada di dalam disebut juga jiwatma.
Adanya jiwatma itu ibarat sinar matahari yang memancarkan dan menyinari semua tempat, sedangkan paramatma ibarat matahari itu sendiri, sebagai sumber sinar-sinar yang memancar di segala tempat. Sebenar-benarnya tidak ada perbedaan antara paramatma yang sebagai matahari, dan jiwatma-jiwatma yang dapat kita ibaratkan sinarnya. Di dalam Bhagavad Gita XII,33 terdapat suatu sloka yang berbunyi sebagai berikut:
“Yatha paraktacayaty ekah,
krtsnam lokam imam rawih,
ksetram ksetri tatha krtsnam,
prakacayati bharata”.
Maksudnya: Bagaikan satu matahari menerangi seluruh dunia, demikian juga paramatma (Hyang Widhi) dari alam semesta menerangi (memberi hidup) seisi alam (semua makhluk) wahai Arjuna.
Tujuan hidup kita yang terakhir adalah menuju moksa, yaitu persatuan (penunggalan) Jiwatma dan Paramatma. Jalan yang benar adalah segala sesuatu yang menuju kearah kesatuan. Segala sesuatu yang menghalangi kesatuan, adalah tidak benar. Untuk mengetahui jalan yang benar Hyang Widhi Wasa tidak membiarkan kita di dalam keadaan yang gelap (awidya). Dia mengirimkan orang-orang besar dan suci, memimpin umatnya bila ada yang merintangi. Dia memberikan kita kekuatan pikiran, dengan mana kita dapat mengertikan mana yang salah dan mana yang benar. Semasih kita kanan-kanak, kita harus menuruti apa yang diajarkan, dan bila sudah dewasa, kita dapat mengerti segala isi pelajaran itu. Dan semua ajaran-ajaran ini, diabadikan di dalam Weda-weda dan Castra oleh Para Rsi (seperti Bhagawan Byasa).
Hukum-hukum yang sederhana yang diabadikan di dalam kitab-kitab suci oleh Para Rsi adalah: “Sesuatu perbuatan yang tidak kita kehendaki, janganlah dilakukan terhadap orang lain. Umpamanya, kita tidak suka dipukul atau disiksa, dimarahi, dicaci (tricapala). Kita hendaknya selalu berbuat baik kepada orang lain, jika kita menghendaki kebahagiaan, kesenangan, dibicarakan baik dan begitulah kita berbuat dengan orang lain. Kita jangan menyakiti orang lain karena orang lain akan menyakiti kita; umpamanya jika seseorang marah kepada kita, kita hendaknya menjawab dengan lemah lembut, disertai dengan rasa tenang”.
Sebaliknya apabila kemarahan dibalas dengan kemarahan, adalah sebagai api sedang menyala, disiram dengan minyak. Dan sikap kita janganlah hendaknya baik dan kasih hanya kepada manusia saja, tetapi juga kepada mahluk yang lainnya.
Demikian pula sikap kita terhadap orang tua hendaknya kasih, hormat dan berusaha menolong dan meladeni mereka sebaik-baiknya. Sikap kita kepada saudara dan kawan-kawan, hendaknya jujur dan baik hati dan berusaha mempunyai perasaan kasih kepadanya, tidak membicarakan dan berbuat kasar kepadanya. Pada orang yang lemah, hendaknya kita memakai kekuatan kita untuk melindungi mereka dan tidak berbuat sesuatu yang menakutkan. Dan yang terpenting yang harus kita perbuat ialah: berbuat (kayika) berkata (wacika) dan berfikir (manacika) yang benar dan ketiga hal tersebut “Trikaya Parisudha“. Hendaknya bersikap kstria dan berterus terang, hormat, teliti, jujur, rajin, sederhana dalam makan dan minum, dan mereka yang melakukan ini akan menjadi orang yang baik.
Di dalam Upanisad terdapat suatu dalil yang berbunyi sebagai berikut: “Brahma atma aikyam, yang artinya Brahman dan atma (jiwatma) adalah tunggal.
Oleh karena jiwatma semua mahluk tunggal dengan Brahma, maka jiwatma suatu mahluk tunggal juga dengan semua jiwatma, dan jiwatma kitapun tunggal dan sama dengan jiwatma (roh) semua mahluk. Kesadaran akan tunggalnya jiwatma (roh) kita, maka kita akan merasakan dengan renungan kebijaksanaan yang dalam, bahwa kita sebenarnya satu sama dengan mahluk yang lain.
Hyang Widhi Wasa berada dimana-mana dan tunggal. Menjadi dasar hidup segala ciptaannya yang berpisah-pisah. Sebagai matahari yang menyinari segala pelosok, meskipun ribuan rumah yang membatasi tembok-tembok yang tinggi, akan tetapi sinar matahari akan menyinari semuanya dan sinar serta panas pada tiap-tiap rumah itu adalah berasal dari matahari yang tunggal. Begitulah jiwatma-jiwatma dalam semua mahluk, diasingkan satu dengan yang lainnya dengan badan yang berbeda-beda, dihidupkan pada dasarnya oleh Hyang Widhi.
Jika tata susila mendasarkan ajarannya saja hanya kepada keesaan Hyang Widhi Wasa saja yang menyadari dasar semua mahluk, maka berarti tiap-tiap perbuatan yang baik dan yang tidak baik yang dilakukan oleh seseorang pada tetangganya, berarti juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri; umpamanya melukai tangan, juga akan mempengaruhi bahagian badan lainnya, meskipun tidak ada lukanya, karena dirasai sakit itu datangnya dari bahagian badan. Jika kita merasakan ini, maka kita akan selalu berbuat baik, untuk kebaikan semua mahluk (ingatlah akan pengertian Tat twam asi dan Aham Brahma asmi). Tetapi oleh karena kita jarang menyadari hal kebenaran ini, perlu ada aturan tata susila, yang pada pokoknya menghalangi perbuatan menyiksa orang lain dan juga diri sendiri.
Para Rsi mengetahui kebenaran yang utama ini, yaitu bahwa atma di tiap-tiap orang adalah tunggal; mereka lalu membangunkan tata susila diatas kebenaran ini. Oleh karena itu kekuasaan kebenaran tata susila dalam weda-weda yang lainnyapun mutlak, karena berdasarkan kebenaran sebagaimana tersebut dalam:
Bhagavad Gita X.20
Aham atma gudakeca
sarwabhutacayasthitah
aham adic ca mashyam ca
bhutanam anta ewa ca.

maksudnya:
Wahai Arjuna, Aku adalah Atma, yang bersemayam di dalam hati semua mahluk, dan Aku awal mula, pertengahan dan akhir mahluk itu.
Bhagavad Gita X.29
Yac ca pi sarwabhutanam
bijam tad aham arjuna
na tad asti wina yat syam
maya bhutam caracaram.
maksudnya:
Wahai Arjuna, akulah benih segala mahluk, dan tidak ada satu ciptaan yang bergerak maupun tidak bergerak, tanpa aku.
Bhagavad Gita XIII.27
Saman sarwesu bhutesu
tisthantam paramecwaram
winac yatsw awinacyantam
yah pacyati sa pacyati.
maksudnya:
Orang yang melihat Tuhan yang kekal dan abadi (tidak dapat binasa) bersemayam merata di dalam semua mahluk yang tidak kekal (dapat binasa) dialah sebenarnya yang melihat.
Jadi tata susila Agama Hindu dibangun atas dasar kebenaran yang maha adil, Jika bertentangan dengan hal ini akan timbul ketidakselarasan di dalam mahluk. Dari itu, kebenaran yang mutlak berdasarkan peri kemanusiaan.
Tata Susila Hindu Dharma (milik Bimas Hindu & Budha Dapg)
oleh: Prof. Dr. Ida Bagus Mantra

 Para Maharsi mengajarkan bahwa kita bukanlah badan dan pikiran [atau emosi] kita. Kita adalah jiwa-jiwa agung dalam perjalanan yang mengagumkan. Kita datang dari Brahman, hidup dalam Brahman dan berkembang menuju kesadaran akan kemanunggalan dengan Brahman. Kita mencari-cari kebenaran, padahal kita ada didalam kebenaran, hanya saja kita tidak menyadarinya. Dalam Hindu Jawa disimpulkan dalam kalimat "ya sira ya ingsun". Karena Brahman adalah hidup kita.
Hindu jawa bilang "Ngelmu iku kelakone kanthi lab, tanpa laku tangeb lamun kelakon". Laku adalah sadhana [disiplin spiritual], dan orang yang sedang melaksanakan sadhana yang ketat disebut nglakoni, misalnya : tapa mbisu [mona brata], nglelana [dharma yatra], mutih [hanya makan nasi dan minur air putih], ngrowot [hanya makan umbi-umbian] dan berbagai laku lainnya, seperti : nglelana [berkelana] dengan telanjang atau hanya mengenakan cawat, mengemis, dll, yang bagi orang umum sangat tidak normal.
Sejatinya itu dilakukan bukan untuk meencari perhatian orang, melainkan untuk menyingkirkan ke-aku-an [ahamkara] dan vasana [kecenderungan pikiran atau pemikiran] yang melekat pada dirinya. Dari rasa takut menuju ketabahan, dari rasa curiga menuju kerelaaan, dari kemarahan menuju welas asih, dari kebencian menuju perdamaian, dari keinginan menuju pelepasan, dari kegelapan menuju penerangan. Dalam rangka merealisasi kesadaran murni [Atma Jnana], dimana semuanya adalah satu [manunggal], yaitu Brahman.
 Garis besar dari sadhana menuju Atma Jnana [mengetahui tentang atman] ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
-1. Mengetahui [menyadari] tentang badan.- (Orang yang tidak tahu siapa sejatinya dirinya)
Ciri-ciri orang yang tidak mengetahui [menyadari] diriNYA/badanNYA adalah semua keinginan badan [indriya] diikuti. Mulut diikuti, mata diikuti, telinga diikuti, lidah, Hidung dll. Perhatikan liarnya tubuh ini : - kalau kita mencium bau masakan yang enak, mendadak kita jadi lapar dan air liur kita menetes, -ketika melihat wanita cantik, mendadak mata kita jelalatan, - nafsu seks diikuti sepuas-puasnya, dll. Siapa saja yang tunduk pada semua keinginan badan [indriya-nya], hidupnya akan terguncang. Karena kita akan terus berkejaran dengan keinginan badan yang tidak mengenal ujung itu. Sampai di suatu titik, puas sebentar, kemudian lari lagi dengan keinginan untuk mencapai ujung yang lain dan seterusnya tidak pernah berhenti proses inilah yang akan melahirkan turunannya Sad Ripu seperti Lobha, Amarah, Moha/mabuk, Mada/Sombong dan Matsarya/Iri hati.
Orang yang mengetahui [menyadari] diriNYA/badanNYA, pelan-pelan secara bertahap dia menjaga jarak dengan seluruh hawa nafsu dan keinginan yang muncul dari badan-nya. Dalam vedanta ini disebut INDRIYA PRATYAHARA. Begitu badan [indriya] ada di bawah kendali, mereka sebatas menjadi pembantu kehidupan dan tidak lagi menjadi penguasa kesadaran. Dengan demikian perlahan-perlahan kita bergerak dari kecenderungan pada Prakriti [realitas materi/duniawi], menuju kecenderungan pada Purusha [realitas absolut].
-2. Mengetahui [menyadari] tentang pikiran.-(orang yang tidak bisa mengendalikan pikirannya)
Sadhana yang jauh lebih berat dari mengetahui [menyadari] badan adalah mengetahui atau [menyadari] pikiran. Karena kalau badan jelas sekali wujudnya ini dan itu, sedangkan pikiran itu sesuatu yang abstrak dan sangat halus. 
Ciri-ciri orang yang tidak mengetahui [menyadari] pikirannya adalah :
Dia tunduk kepada sad ripu [enam kegelapan bathin] yang muncul dalam pikirannya. Seperti :
Kama   = Keinginan/Hawa nafsu, Lobha=Serakah, Marah, Moha/bingung, Mada/Sombong dan Matsarya/Irihati/dengki.
Pikiran bisa menjadi pembantu yang baik atau sebaliknya penguasa yang mengerikan. Sehingga penting untuk berlatih mengamati pikiran, perasaan dan emosi kita sendiri, sekaligus menjaga jarak kepadanya. Amati pikiran kita saat kita marah, saat kita sedih, saat kita sedang nafsu, dll, dan yang paling penting : jangan diikuti, disadari saja. Bila kita tekun menjadi pengamat pikiran, perasaan dan emosi kita sendiri dan menjaga jarak kepadanya, kita akan menjadi lebih sadar tentang hakikat pikiran kita sendiri.
- Dia didikte oleh dualitas pikirannya.
Misalnya : saya benar anda salah, saya baik anda buruk, kalau saya banyak uang itu baik kalau tidak punya uang itu buruk, kalau dipuji orang itu bagus kalau dihina orang itu buruk, dll semua dualitas pikiran. Sumber dualitas dalam bathin kita ini adalah serakah [lobha] -hanya mau yang baik-baik saja dan tidak mau yang buruk-, serta pikiran yang rajin melakukan pembedaan-pembedaan dan perbandingan-perbandingan berbahaya.
Orang yang mengetahui [menyadari] pikirannya, pelan-pelan secara bertahap dia menjaga jarak dengan seluruh sad ripu dan melampaui semua dualitas yang muncul dalam pikirannya. Dalam vedanta ini disebut MANASA PRATYAHARA. Begitu pikiran ada di bawah kendali, mereka sebatas menjadi pembantu kehidupan dan tidak lagi menjadi penguasa kesadaran. Hasilnya adalah bathin yang tenang-seimbang. Pikiran, perasaan dan ekspresi kita tetap sejuk, teduh dan damai walau apapun yang terjadi dalam kehidupan. Dengan demikian kita bisa lepas dari kecenderungan pada Prakriti [realitas materi], menuju kecenderungan pada Purusha [realitas absolut]. 
PENUTUP
Orang yang bisa menjaga jarak dengan badan dan pikirannya, bebas dari identifikasi diri sebagai badan dan pikiran, itulah manusia yang sadar, yang ke-aku-annya [ahamkara] sudah lenyap, yang sudah bisa melihat : semuanya Brahman. Yang baik maupun buruk adalah Brahman, yang benar maupun salah adalah Brahman, yang terhormat maupun yang hina adalah Brahman, yang mengerikan maupun yang indah adalah Brahman, yang suci maupun yang kotor adalah Brahman, dll. Dalam bahasa tetua orang Bali dan Jawa : Rwa Bhinneda. Sehingga yang muncul keluar hanyalah welas asih dan kebaikan yang tidak terbatas kepada semuanya.
 

Thursday, March 26, 2015

CARA MENCAPAI KESADARAN ATMA



CARA MENCAMPAI KESADARAN ATMA
Bagaimana cara mencapai atma jnana [kesadaran atman] ? Ada banyak jalan untuk menapakinya. Salah satunya adalah dengan melalui delapan tahapan perjalanan tapa-yoga.

Tahapan pertama dan tahapan kedua adalah kehidupan sehari-hari yang penuh dengan belas kasih dan kebajikan.

 [1] kita belajar berhenti menyakiti hati orang lain. Tidak hanya sebatas berhenti menyakiti orang yang baik kepada kita, tapi juga berhenti menyakiti orang yang jahat kepada kita.

[2] kita belajar melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan, bantu sebanyak mungkin orang lain dan mahluk lain, serta lakukan swadharma pekerjaan kita dengan baik, tekun dan hati riang.

[3] kita belajar mengelola perhatian kita. Karena apa yang kita perhatikan terus berulang-ulang dalam waktu yang lama akan membuat kehidupan kita menjadi seperti itu. Jika kita memperhatikan nafsu seks, kita akan menjadi liar, ingin ingin dan ingin seks. Jika kita memperhatikan makanan enak, nanti kita akan tertarik terus dengan makanan. Jika kita memperhatikan pertikaian politik, nanti kita akan tertarik terus dengan konflik. Arahkan pergaulan kita ke orang baik dan hatinya bersih saja, batasi dan kurangi pergaulan dengan orang yang kurang baik dan hatinya tidak tulus. Karena jika kita memperhatikan serangkaian perilaku, sama dengan meniatkan diri kita sendiri untuk berkembang kesana, lama-lama kita akan mirip dengan dia pola pikir dan cara kehidupannya. Jika kita ingin berhasil di jalan dharma pusatkan perhatian hanya kepada hal-hal yang memang benar baik, mulia, sejuk, damai dan mencerahkan jiwa.

[4] kita belajar mengendalikan panca indriya kita, terutama lidah, mata dan telinga. Jangan melekat dan mengejar makanan enak, belajar menjaga apa yang kita katakan dan yang tidak kita katakan. Belajar melihat dan mendengarkan tanpa penilaian dan penghakiman. Termasuk belajar melihat-mendengar segala gangguan dan godaan, yang kita rasa berat sekalipun, dengan tanpa penilaian dan penghakiman.

[5] kita belajar mengelola pernafasan kita melalui latihan pranayama. Ada rahasia di balik pernafasan kita. Ketika aliran nafas tidak beraturan dan tanpa tujuan, pikiran menjadi mudah terombang-ambing. Ketika aliran nafas stabil dan tenang, pikiran menjadi mudah tenang-seimbang.

[6] kita belajar meditasi dan berusaha melaksanakannya dengan rutin dan tekun.

[7] kita belajar setiap saat terserap ke dalam samadhi atau selalu terserap ke dalam atman. Apapun yang muncul dalam pikiran kita [marah, takut, benci, jengkel, penasaran, tegang, senang, bahagia, dsb-nya], sadari secara netral. Tanpa penilaian, tanpa dualitas baik-buruk, enak-tidak enak, suka-tidak suka, suci-kotor. Sehingga ada ruang diantara pikiran-perasaan dengan kesadaran. Semakin dalam prakteknya semakin lebar ruang diantara keduanya. Hasilnya indah sekali, semuanya menjadi yoga. Tidak lagi diperlukan tindakan untuk melakukan yoga, melainkan yoga menjadi alamiah, natural, mengalir dan menyatu dengan kehidupan. Atau dengan kata lain selalu terserap ke dalam samadhi atau selalu terserap ke dalam atman.

[8] adalah tahap jivan-mukti [pembebasan, pencerahan], disinilah tercapainya atma jnana, kesadaran tentang kenyataan diri yang sejati.

Kedengarannya mudah tapi perlu waktu yang sangat panjang untuk mencapainya. Sehingga untuk orang biasa mungkin tidak perlu sampai di tahap delapan. Kalau dalam perjalanan kehidupan ini kita sudah bisa sampai di tahap keenam saja itu sudah bagus sekali. Karena di tahap itu anthra-guru [guru di dalam diri] sudah akan ketemu.
Vasudaiva Kutumbakam = Kita semua bersaudara
Brahman Atman Aikyam = Brahman & Atman itu Tunggal
Aham Brahma Asmi = Pada Hakikatnya, Jiwa ini adalah Tuhan itu sendiri
Moksanam Sarira Sadhanam = Bahwa tubuh itu adalah alat untuk mencapai moksa

PENUTUP
Orang yang bisa menjaga jarak dengan badan dan pikirannya, bebas dari identifikasi diri sebagai badan dan pikiran, itulah manusia yang sadar, yang ke-aku-annya [ahamkara] sudah lenyap, yang sudah bisa melihat : semuanya Brahman. Yang baik maupun buruk adalah Brahman, yang benar maupun salah adalah Brahman, yang terhormat maupun yang hina adalah Brahman, yang mengerikan maupun yang indah adalah Brahman, yang suci maupun yang kotor adalah Brahman, dll. Dalam bahasa tetua orang Bali dan Jawa : Rwa Bhinneda. Sehingga yang muncul keluar hanyalah welas asih dan kebaikan yang tidak terbatas kepada semuanya.

PERBEDAAN DEWA, BATHARA DAN AWATARA DALAM HINDU



Dewa, Bhatara dan Awatara Dalam Hindu

 Di dalam agama Hindu kita mengenal yang  namanya Dewa, Bhatara  dan Awatara. Berikut adalah penjelasannya.

Pengertian Deva, Bhatara dan Awatara

Dewa
Pandangan Hindu ; Dewa berasal dari kata Div yang artinya cahaya. Para Dewa adalah cahaya Brahman. Hubungan Brahman dengan Dewa dapat kita analogikan sebagai cahaya dengan matahari. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tidak ada cahaya bila tidak ada matahari. Tetapi tanpa cahaya matahari tidak dapat dikatakan matahari. Cahaya adalah cara matahari untuk menunjukkan dirinya kepada dunia. Dengan cahaya kita tahu matahari ada. Tanpa cahaya itu kita tahu apakah matahari itu ada atau tidak. Para Dewa itu adalah wujud personal dari Brahman yang disebut Iswara; melalui para Dewa itu kita “mengetahui” keberadaan Brahman yang tanpa sifat dan impersonal, bahkan Acintya, tak terpikirkan.(NPP)
Om Tat Sat.
Deva adalah sinar suci Brahman atau Sang Hyang Widhi yang mempunyai tugas berbeda-beda. Kata Deva itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta div yang artinya sinar. Sesuai dengan artinya, fungsi Deva adalah untuk menyinari, menerangi alam semesta agar selalu terang dan terlindungi. Dalam Agama Hindu dikenal banyak Deva dengan berbagai fungsinya, antara lain:
  • Deva Indera adalah deva yang menguasai ilmu perang sehingga dikenal sebagai Deva perang;
  • Deva Brahma adalah deva pencipta alam semesta beserta isinya;
  • Deva Wisnu sebagai deva pemelihara dunia beserta isinya;
  • Deva Siwa sebagai deva pemeralina yang mengembalikan dunia kembali ke asalnya;
  • Deva Baruna sebagai deva penguasa laut;
  • Devi Saraswati sebagai deva penguasa ilmu pengetahuan;
  • Deva Ganeca sebagai deva kecerdasan dan penyelamat umat manusia;
  • Devi Sri sebagai deva kemakmuran; dan
  • Deva Sangkara sebagai deva penguasa tumbuh-tumbuhan.


Bhatara
Kata Bhatara berasal dari kata bhatr yang berarti kekuatan Brahman, Sang Hyang Widhi yang juga mempunyai fungsi sebagai pelindung umat manusia dan dunia dengan segala isinya. Dalam Agama Hindu dikenal ada banyak Bhatara, antara lain:
  • Bhatara Bayu yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan udara atau angin.
  • Bhatara Indra yang mempunyai kekuatan untuk mengadakan hujan.
  • Bhatara Agni yang mempunyai kekuatan untuk menjadikan api yang panas.
  • Bhatara Basuki yang mempunyai kekuatan untuk menciptakan kesuburan.
  • Bhatara Anantaboga yang mempunyai kekuatan untuk menstabilkan bumi.


Awatara
Kata Avatara berarti kelahiran Brahman. Dalam hal ini, Brahman melahirkan diri-Nya sendiri dengan wujud yang sesuai dengan kehendak-Nya untuk menyelamatkan umat manusia dan dunia beserta isinya dari ancaman kejahatan yang sudah merajalela. 

Umat Hindu percaya bahwa kehidupan umat manusia dan bumi beserta isinya tidak kekal dan berada dalam siklus perubahan abadi yang bisa baik dan juga bisa buruk. Dalam perjalanan kehidupan umat manusia tidak dapat lepas dari siklus perubahan.Terkadang pengaruh buruk yang menguasai alam semesta dan di lain waktu pengaruh baik yang mempengaruhi.

Manakala dunia beserta isinya berada dalam ancaman pengaruh buruk sifat manusia, yang ditandai dengan kejahatan merajalela, wanita tidak lagi diberikan kemuliaan dan penghormatan, perang terjadi di mana-mana, maka Brahman atau Sang Hyang Widhi turun ke dunia dengan mengambil wujud sesuai dengan keadaan zaman. Tujuannya untuk menyelamatkan umat manusia, alam semesta beserta isinya dari kehancuran. 

Dengan demikian, Avatara merupakan penjelmaan Brahman dengan mengambil wujud tertentu dengan tujuan untuk menyelamatkan umat manusia dan dunia beserta isinya. Menurut Purana (bagian dari pada Veda), dikenal ada 10 Awatara Dalam Agama Hindu yang turun ke dunia untuk tujuan menyelamatkan umat manusia, alam semesta, dan segala isinya dari kehancuran.


Hubungan Deva, Bhatara, Avatara

Sebagai manifestasi, Deva Wisnu yang turun ke dunia antara Deva, Bhatara, dan Avatara mempunyai masing-masing hubungan, yaitu:
  1. Semuanya bersumber dari Brahman/Sang Hyang Widhi,
  2. Masing-masing mempunyai fungsi dan tugas menyelamatkan dunia dari adharma,
  3. Masing-masing mempunyai sifat yang sama dengan Brahman
  4. Deva, Bhatara, dan Avatara adalah maha pemurah terhadap makhluk hidup.



Perbedaan Deva, Bhatara, dan Avatara
  1. Deva berasal dari kata Div yang berarti sinar. Jadi, Dewa memiliki arti atau makna sinar yang menunjukkan sebagai sinar sucinya Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Bhatara berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata Bhatr, yang artinya Kekuatan/Pelindung. Jadi Bhatara adalah yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan kualitas kesucian dirinya sehingga mampu menjadi Manawa ke Madawa atau setingkat Bhatara yang dapat melindungi kesejahteraan umat manusia.
  3. Avatara adalah turunnya kekuatan Sang Hyang Widhi ke dunia dengan mengambil suatu bentuk tertentu untuk menyelamatkan dunia beserta isinya dari kehancuran yang disebabkan oleh sifat-sifat Adharma.



Sloka yang Mendukung Keberadaan Deva, Bhatara dan Avatara

  1. Bhagavadgita IV. 5
Banyak kelahiran yang telah Aku jalani di masa lalu, demikian juga engkau wahai Arjuna, semuanya itu Aku mengetahuinya, tetapi engkau tidak wahai Parantapa (Arjuna)

2.  Bhagavadgita IV. 6
Walaupun Aku tak terlahirkan, abadi, dan menguasai segala makhluk, namun dengan menundukkan kekuatan Ku sendiri, Aku bisa mewujudkan diriku melalui kekuatan maya Ku

3.  Bhagavadgita IV. 8
Demi untuk melindungi orang-orang suci, serta untuk memusnahkan orang-orang jahat, dan demi untuk menegakkan dharma