Wednesday, March 23, 2011

MAKNA & FILOSOFI HARI RAYA SARASWATI


Hari Raya SaraswatiPrintE-mail
Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis Watugunung.

Arti Kata Sarasvati

Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang artinya mengalir. Sarasvati berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau kolam.

Sarasvati dalam Veda

Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga dipuja bersamaan dengan Sarasvati.

Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia

Tentang Sarasvati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya dengan menggunakan sarana banten (persembahan).

Apabila seorangpemangku melakukan pemujaan pada hari Sarasvati, ia mengucapkan dua bait mantra berikut :

Om Sarasvati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir bhavantu mesada.

Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Sarasvati (n) namamy aham.

(Sarasvati 1-2.)

Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada.

Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia, karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu.

Om Sarasvati namotubhyam
varade kama rupini,
siddhirambha karisyami
siddhir bhavantu mesada
(Sarasvatistava I)

Om Hyang Vidhi dalam wujud-MU sebagai dewi Sarasvati, pemberi berkah, wujud kasih bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas karuniaMu
Pendahuluan

Berbagai usaha atau jalan yang terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa yang sesungguhnya tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia, untuk kepentingan Bhakti, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan atau diwujudkan dalam alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang Berpribadi (personal God). Berbagai aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa dipuja dan diagungkan serta dimohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.

Makna Penggambaran Dewi Saraswati

Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa warna putih merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan dengan Sattvam-jnanam.

Caturbhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala (tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul nadamelodi (nada - brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. kainnya yang putih menunjukkanbahwa ilmu itu selalu putih, emngingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni dan tidak tercela (Shakunthala, 1989: 38).

Vahana. sarasvati duduk diatas bunga teratai dengan kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji-bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan (Shakunthala, 1989 : 38)..
Penutup

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam Veda pada mulanya adalah dewi Sungai yang diyakini amat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi Ucap, dewi yang memberikan inspirasi dan kahirnya ia dipuja sebagai dewi ilmu pengetahuan.

Perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewi yang cantik bertangan empat dengan berbagai atribut yang dipegangnya mengandung makna simbolis bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber ilmu-pengetahuan, sumber wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Catur Veda dan lain-lain menunjukkan bahwa simbolis tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi dengan latar belakang filosofis yang sangat dalam.

Demikian semoga Ida Sang Hyang Widhi senantiasa memberikan waranugrahanya berupa inspirasi, kejernihan pikiran serta kerahayuan yang didambakan oleh setiap orang.

Om Sarve sukhino bhavantu, sarve santu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma kascid duhkh bhag bhavet.

Ya Tuhan Yang maha Esa, anugrahkanlah semoga semuanya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Semoga semuanya memperoleh kedamaian. Semoga semuanya memperoleh keutamaan dan semuanya terbebas dari segala duka dan penderitaan.

Om Santih, Santih, Santih, Om.

Sumber:
"Sarasvati : Dalam Veda dan Susastra Hindu", oleh: DR. I Made Titib, 1999-2000

MAKNA & FILOSOFI HARI RAYA PAGERWESI


HARI RAYA PAGERWESIPrintE-mail
Kata "pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini me-lambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru.
Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur.
Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."
Artinya:
Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya:
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).
Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga.
Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah "Sesayut Panca Lingga" sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.
Makna Filosofi
Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati.
Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.
Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan "pager besi" untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh."
Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.
Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan.
Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu:
Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).
Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan.
Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki dharma.
Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri manusia bermoral tanpa kesombongan.
Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat. Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata.
Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya.
Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga.
Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru.
Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya "pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya selamat atau sejahtera.
Natab Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi.
Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya alam semesta.
Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat.
Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia.
(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
 

Thursday, March 17, 2011

SULINGGIH




Kesulinggihan

A. BAGIAN PERTAMA
1. Berdasarkan Keputusan Mahasabha PHDI ke-2 tanggal 2 s/d 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Sulinggih ialah mereka yang telah melaksanakan upacara Diksa, ditapak oleh Nabe-nya dengan Bhiseka: Pedanda, Bhujangga, Rsi, Bhagawan, Mpu, dan Dukuh.
Pada Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, ditetapkan sebagai berikut: Umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat-syarat:
  1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyuklabrahmacari
  2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kania)
  3. Pasangan suami/ istri
  4. Umur minimal 40 tahun
  5. Paham Bahasa Kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran agama
  6. Sehat lahir bathin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana
  7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
  8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabe-nya yang akan menyucikan
  9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan
Ketentuan-ketentuan di atas dikelompokkan pada persyaratan formal bagi seorang Sulinggih.
Di bawah ini akan diuraikan persyaratan spiritual seperti yang disebut dalam beberapa pustaka suci, antara lain di Bhagawadgita percakapan ke IV-19 disebutkan:
YASYA SARVE SAMARAMBHAH, KAMA SAMKALPA VARJITAH, JNANAGNI DAGDHA KARMANAM, TAM AHUH PANDITAM BUDHAH
artinya: Yang bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu pengetahuan, dinamakan orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan.
Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Kemudian di Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
SRUTYUKTAH PARAMO DHARMASTATHA SMRTIGATO PARAH, SISTA CARAH PARAH PROKTAS TRAYO DHARMAH SANATANAH
artinya: maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Pandita juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir dua kali; kelahiran pertama dari rahim Ibu, sedangkan kelahiran kedua dari Weda (Mantram Sawitri atau Gayatri). Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses Diksa yang diselenggarakan oleh Nabe sebagai Guru Putra.
Pandita juga disebut Sang Sadaka, artinya orang yang sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana sehari-hari.
Pengertian sadhana seperti yang tertulis dalam Lontar Wrehaspati Tattwa adalah tiga jalan menuju Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan YME), yaitu Yoga yang terdiri dari:
  1. Jnanabhyudreka (mengerti ajaran tattwa),
  2. Indriyayogamarga (tidak terikat oleh indra),
  3. Tresnadosaksaya (dapat menghilangkan pahala perbuatan).
Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”.
Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah “Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia.
Kesimpulan: seorang Sulinggih hendaknya telah memenuhi syarat-syarat formal dan syarat-syarat sipiritual seperti yang diuraikan di atas.
2. Proses Diksa (Penobatan Sulinggih): seseorang yang ingin me-Diksa tentunya sudah memenuhi syarat-syarat formal seperti diuraikan pada A.1 di atas, kemudian sebagai langkah kedua menemukan Nabe (guru) yang bersedia mengangkatnya menjadi Sisia (murid).
Syarat-syarat Nabe seperti yang telah diputuskan dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa adalah:
  1. Seorang yang selalu dalam keadaan bersih dan sehat baik lahir maupun bathin.
  2. Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
  3. Tenang dan bijaksana.
  4. Selalu berpedoman kepada Kitab Suci Weda.
  5. Paham dan mengerti tentang Catur Weda.
  6. Mampu membaca Sruti dan Smrti.
  7. Teguh melaksanakan Dharma-Sadhana (sering berbuat amal, jasa, dan kebajikan).
  8. Teguh melaksanakan Tapa Brata.
Selanjutnya Sisia diterima secara resmi menjadi murid/ putra dengan upacara “meperas” sekaligus pawintenan menjadi “Jero Gde”.
Sejak saat itu Jero Gde “aguron-guron” (belajar teori dan praktik) menjadi Pandita sambil mempersiapkan mental dan perilaku suci agar memenuhi persyaratan spiritual seperti yang diuraikan dalam A.1 di atas.
Lamanya masa aguron-guron ini tergantung pada penilaian Nabe. Apabila dinilai sudah cukup matang, maka calon Diksa mempersiapkan kelengkapan administrasi seperti:
  1. Surat permohonan mediksa kepada PHDI Kabupaten.
  2. Keterangan: berbadan sehat, berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat pendidikan, persetujuan istri, dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan penelitian baik kepada calon Diksa maupun kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan Diksa Pariksa (ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus dan memenuhi syarat maka dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI.
Puncak upacara Madiksa didahului dengan upacara “seda raga” yaitu “penyekeban” sekitar 12-24 jam untuk menghilangkan “sadripu” calon Diksa.
Setelah seda raga, dilaksanakan upacara Diksa sehingga lahirlah seorang Dwijati yang sudah berubah dibanding ketika masih “walaka” yaitu:
  1. Amari Sesana, artinya perubahan kebiasan dan disiplin kehidupan,
  2. Amari Aran, artinya perubahan nama (Bhiseka),
  3. Amari Wesa, artinya perubahan tata berpakaian.
Fungsi Sulinggih:
  1. Memimpin warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka”.
  2. “Ngelokaparasraya” yaitu menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan warga.
Tugas Sulinggih: mensejahterakan kehidupan masyarakat melalui jalur spiritual.
Kewajiban Sulinggih pada umumnya disebut “sasana kawikon” atau “dharmaning kawikon” terdapat pada Lontar Krama Madiksa sepuluh kewajiban (dasa krama paramartha), yaitu:
  1. Tapa (teguh memuja Hyang Widhi)
  2. Brata (membatasi indra)
  3. Yoga (menyeimbangkan Stulasarira dengan Suksmasarira)
  4. Samadhi (memusatkan pikiran kepada kebesaran Hyang Widhi)
  5. Santa (berpikir, berkata, dan berbuat serba tenang damai)
  6. Sanmata (berperasaan riang gembira)
  7. Maitri (senang mengatakan yang baik dan benar)
  8. Karuna (senang bertukar pikiran dengan sesama dan menyayangi semua mahluk)
  9. Upeksa (tahu perbuatan yang baik dan buruk serta memberi bimbingan kepada yang bodoh dan yang salah)
  10. Mudhita (mencintai kebenaran serta berbudi luhur)
Di samping itu kewajiban Sulinggih yang lain:
  1. Arcana ( memuja Hyang Widhi setiap hari dalam bentuk Njurya Sewana).
  2. Adhyaya (tekun belajar mendalami Weda, Tattwa, Susila, Upacara).
  3. Adhyapaka (suka mengajar hal-hal tentang Hyang Widhi dan kesucian).
  4. Swadhyaya (rajin belajar hal-hal yang diberikan Nabe).
  5. Dhyana (merenungkan Hyang Widhi serta hakekat kehidupan).
3. Teks-teks dasar yang mengulas tentang kesulinggihan antara lain:
  1. Lontar Arghapatra, tentang teknik Surya Sevana
  2. Lontar Silakrama, tentang etika Sulinggih
  3. Lontar Kramaning Dadi Wiku, tentang etika, tugas, kewajiban Sulinggih
  4. Lontar Krama Madiksa, tentang persyaratan Madiksa
  5. Lontar Wrhaspati Tattwa, tentang filsafat Siwa (Hyang Widhi)
  6. Lontar Ganapati Tattwa, tentang filsafat Atma
  7. Lontar Wrhaspati Kalpa, tentang filsafat Pandita
  8. Lontar Bhuwanakosa, tentang filsafat manusia
  9. Bhagawadgita, tentang filsafat Hyang Widhi, tugas, dan kewajiban manusia serta pedoman kehidupan manusia
  10. Sarasamuscaya, tentang filsafat kehidupan manusia
  11. Wedaparikrama, tentang teknik Surya SeVana
  12. Yoga Kundalini, tentang petunjuk “Ngili Atma” bagi Pandita
  13. Manawa Dharmasastra, tentang hukum (kesulinggihan dan kemanusiaan)
  14. Parasara Dharmasastra, tentang aturan penyucian bagi Pandita
  15. Lontar Eka Pratama, tentang pembagian tugas/ kelompok Sulinggih
Beberapa Lontar/ Buku di atas banyak perbedaan dan prakteknya di lapangan sebagai berikut:
1. Lontar-Lontar Arghapatra ternyata tidak hanya satu, tetapi banyak dan satu sama lain ada perbedaan sehingga tata cara Surya Sevana para Sulinggih pun berbeda-beda.
Tata cara Surya Sevana yang lengkap ada di Buku Wedaparikrama yang ditulis oleh Gde Puja MA,SH.
Anehnya, ada buku tentang Surya Sevana yang ditulis seorang Belanda bernama C. Hoykaas berjudul: Suryasevana, the way to God of a Balinese Siva Priest, N.V. Noord Hollandsche Uitgevers Maatschappij, Amsterdam, 1966, menguraikan secara rinci proses Surya Sevana disertai gambar-gambar mudra (petanganan) yang lengkap.
Buku ini bagus sekali, sehingga Pandita (saya) lebih senang menggunakan buku ini sebagai acuan di samping buku Wedaparikrama.
Kelemahan penulisan lontar-lontar adalah sistematikanya kurang baik, kata-katanya puitis, sehingga lebih cenderung sebagai seni bahasa dan karya sastra yang perlu penafsiran untuk mengerti dengan baik.
Kesimpulannya, lontar-lontar Argapatra kurang praktis untuk digunakan belajar secara cepat.
2. Bhagawadgita dan Sarasamuscaya adalah kitab suci yang sangat tinggi nilai ke-Tuhanannya, namun yang dipraktekan oleh beberapa Sulinggih fanatik dan feodal, berbeda dengan nilai-nilai kesucian, misalnya masalah “catur warna”, yaitu memandang lebih rendah Sulinggih lain yang tidak berasal dari “Brahmana Wangsa”.
Contoh riil mengenai hal ini adalah timbulnya kasus Trisadaka dan Sarwa Sadaka, dan kasus “Kertasemaya Pedanda Siwa-Budha se-Kabupaten Karangasem”
3. Lontar Eka Pratama memuat tentang pembidangan tugas-tugas Trisadaka, namun praktek di lapangan menjadi berbeda karena ada kesengajaan membuat penafsiran keliru untuk kepentingan para Pedanda.
Rincian tentang hal ini akan diuraikan pada Bagian Kedua (B) di bawah.
4. Teks-teks yang Pandita (saya) gunakan ada dua kelompok yaitu yang menyangkut tentang sasana kesulinggihan seperti yang ditulis di nomor A.3 di atas dan kelompok teks-teks tentang pelaksanaan tugas-tugas kesulinggihan antara lain (selektif):
  1. Lontar/ Buku tentang Panca Yadnya (Dewa, Rsi, Pitra, Manusa, dan Bhuta Yadnya, yang tidak dapat disebutkan karena terlalu banyak)
  2. Lontar Kandapat Dewa, Bhuta, Atma, Rare, Sari.
  3. Buku: Pelajaran Dewasa (Wariga), Wayan Simpen AB, Toko Buku Muria, Cempaka 2, Denpasar.
  4. Kakawin Arjuna Wiwaha, Made Menaka, Yayasan Kawi Sastra Mandala, Jalan Pulau Timor 4, Singaraja.
  5. Maitri Upanisad, Drs. R. Sugiarto, Mabes TNI Angkatan Laut, Jakarta
  6. Lontar Babad Kawitan dari semua Kawitan yang ada di Bali: Dalem, Brahmana, Pasek Sanak Sapta Rsi, Arya Kanuruhan, Arya Kenceng, Arya Kepakisan, Arya Kubon Tubuh, Arya Tutuan, Gusti Jelantik, Manik Angkeran, Pande, Pasek Bali, Sangging, Kiyai Ularan, Bendesa Mas, Panji Sakti, Putih Mayong, dll.
  7. Buku: Tuntunan/ Tatacara Ngawun Karang Paumahan Manut Smrti Agama Hindu, I Made Suandra, Upadasastra 1993
  8. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Cudamani, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta 1990.
  9. Murddha Agama Hindu, Dr. I Gst.Ngurah Nala, Drs . IGK Adia Wiratmadja, Upadasastra 1993.
  10. Buku: Drawings of Balinese Sorcery, C. Hooykaas, Leide, E.J. BRI, 1980
  11. Lontar Mahabharata dan Ramayana.
  12. Kumpulan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, PHDI, 1987.

5. Sulinggih seharusnya mampu dan mau memberikan Dharmawacana dan Dharmatula karena itu merupakan sasana kawikuan, termasuk arti luas dari “ngelokaparasraya”, namun ada segolongan Sulinggih yang tidak bersedia melakukannya karena alasan yang tidak jelas.
6. Untuk menjadi seorang Sulinggih yang baik sebenarnya sungguh berat, karena harus memenuhi kriteria utama dalam: kesucian, kecerdasan, kepandaian dalam berbicara/ berdialog, kesehatan/ kekuatan fisik, penampilan, ramah-tamah, sabar, cinta kasih, kepemimpinan (leadership), dan kewibawaan.
Sulinggih adalah seorang yang all round (serba bisa), namun mempunyai kemampuan dan minat khusus tertentu.
Misalnya ada yang senang kesusastraan, disebut Wiku Kawi; ada yang senang ber-dharma wacana dan ber-dharma tula disebut Wiku Acarya; ada yang sibuk hanya “muput-muput karya” saja disebut Wiku Pemuput Karya; ada yang madiksa untuk kepentingan kesucian diri sendiri saja, tidak melayani publik, disebut Wiku Ngeraga.
Istilah-istilah itu belum disahkan/ diresmikan oleh PHDI.
Lokaparasraya berasal dari Lokapalasraya, atau Loka-Pala-Asraya. Loka artinya masyarakat, Pala artinya melindungi, dan Asraya artinya dekat bersandar.
Jadi lokaparasraya artinya tempat berlindung mencari kedamaian dan ketentraman serta tempat bersandar masyarakat (pasif) dan menjadi pengayom, pembela, panutan, pendidik masyarakat (aktif).
Sehari-hari Sulinggih menyebut dirinya “Bapa” sedangkan Bapa dalam Kekawin Nitisastra mempunyai kewajiban antara lain “Matulung urip rikalaning bhaya” artinya menyelamatkan jiwa anak-anaknya tatkala ada ancaman bahaya.
Keselamatan jiwa dalam pengertian spiritual termasuk ancaman adharma, karena bila seseorang berlaku adharma, jiwanya terancam bahkan dapat berumur pendek dan kemudian rohnya mengalami siksaan neraka.
Padahal tugas manusia dalam kehidupan di dunia adalah melaksanakan dharma agar di suatu saat kelak roh (Atman) sudah bersih sehingga dapat bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).
Tugas Sulinggih (ngelokaparasraya) intinya adalah membantu manusia agar senantiasa ada di jalan dharma. Jadi bukan hanya muput-muput karya saja ! Tugas muput-muput karya hanya sebahagian kecil dari tugas-tugas mulia lainnya.

Wednesday, March 16, 2011

MUDRA


Sekilas Mudra

MUDRA seperti yang diuraikan dalam Buku Mudra’s on Bali karangan Kat Angelino, berasal dari kata “mud” yang berarti “membuat senang”. Dalam hal ini maksudnya adalah membuat senang para Dewata yang dipuja.
Mudra diwujudkan dalam sikap-sikap badan, sikap-sikap tangan, dan sikap-sikap jari ketika memuja.
Dengan demikian secara singkat dapat dirumuskan bahwa Mudra adalah sikap atau gerakan badan yang sakral yang digunakan dalam pemujaan, termasuk sikap duduk padmasana, sikap berdiri pada asana, sikap tangan dewa pratista, sikap tangan amusti karana, sikap mebakti, sikap-sikap yoga, dan lain-lain.
Sikap-sikap ini tidak hanya membuat senang para Dewata, tetapi juga membawa rasa tenteram ke alam batin bagi yang melakukannya.
Berdasar keterangan itu, MUDRA SECARA UMUM DAPAT DILAKUKAN OLEH SIAPA SAJA KETIKA MEREKA MENGUATKAN BATIN DAN BERKONSENTRASI MEMUJA TUHAN/ IDA SANGHYANG WIDHI WASA.
Menurut Lontar Argha Patra, mula-mula di India ada 108 jenis mudra, tetapi yang dikembangkan di Indonesia hanya 55 jenis, dan yang populer hingga saat ini ada 32 jenis.
Sikap-sikap mudra diperoleh mula-mula dari Anumana Pramana kekuatan batin para Maha Rsi. Dasar utama melakukan mudra adalah kesucian batin. Penggunaannya hanya untuk kepentingan memuja Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi Wasa, tidak dilakukan secara sembarangan.
Setiap orang dapat memilih diantara 55 jenis mudra yang sesuai dengan kebutuhan pemujaan.
Misalnya bagi para walaka ketika mepuja Trisandya, menggunakan mudra Padmasana dan Amusti Karana; untuk Pinandita/ Jero Mangku menggunakan Astra Mudra ketika nganteb; untuk Sang Sadaka menggunakan mudra lengkap ketika Ngarga Tirta dan Ngili Atma.
Sikap-sikap mudra senantiasa diikuti mantra-mantra tertentu. Bagi para walaka ketika bersikap mudra Padmasana mengucapkan mantra:
OM PADMASANA YA NAMAH, OM PRASADASTITI SARIRA SIWA SUCI NIRMALA YA NAMAH SWAHA
Bagi Pinandita/ Jero Mangku ketika bersikap Astra Mudra, mengucapkan Astra Mantra.
Bolehkah walaka dan Pinandita/ Jero Mangku menggunakan 55 jenis mudra? Boleh saja, namun apa gunanya.
Seperti penjelasan di atas, mudra tidak berdiri sendiri; mudra senantiasa diikuti mantra, dan mantra digunakan untuk tujuan tertentu.
Misalnya mudra-mudra untuk Ngili Atma hanya digunakan oleh Sang Sadaka karena proses Ngili Atma hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sudah Dwijati, sedangkan bagi Ekajati belum mampu melakukan Ngili Atma.
Kesimpulan Pandita adalah: PINANDITA/ JERO MANGKU DAPAT MENGGUNAKAN MUDRA TERTENTU SESUAI DENGAN KEBUTUHAN PEMUJAAN, DAN SEBAIKNYA DENGAN BIMBINGAN SANG SADAKA.
Untuk menambah pengetahuan tentang mudra bacalah buku: Surya Sevana, The Way to God of a Balinese Siva Priest, karangan C. Hooykaas, penerbit : N.V. Noord Hollandsche Uitgevers Maatschappij, Amsterdam, 1966. Buku ini ada di Gedong Kirtiya, Singaraja – Bali.

HARI RAYA NYEPI


Nyepi: Urutan Upacara, dan Filosofinya

Urut-urutan acara dalam menyambut Hari Raya Nyepi
1. TAHAP PERTAMA (MELASTI)
Melasti adalah Bahasa Kawi berasal dari kata “mala” = kotoran dan “asti” = abu/ lebur dengan demikian melasti artinya melebur kotoran. Kegiatan melasti juga disebut melelasti, melis, mesucian, mekiyis.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala disebutkan:
… ANGANYUTAKEN LARANING JAGAT, PAKLESA LETUHING BHUANA
artinya untuk melenyapkan penderitaan masyarakat (kotoran Bhuana Alit) dan kekotoran dunia (kotoran Bhuana Agung).
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
… AMET SARINING AMERTA KAMANDALU RI TELENGING SAMUDRA
artinya untuk memperoleh air suci kehidupan (Sarining Bhuana) di tengah-tengah laut.
Jadi melasti bertujuan untuk: melenyapkan kekotoran dunia dan melenyapkan penderitaan manusia yang menumpuk di tahun yang lalu (misalnya Isaka 1921), serta memohon tirta amerta kamandalu, yaitu air suci kehidupan untuk tahun yang akan datang (misalnya Isaka 1922).
Pelaksanaannya dengan mengusung pretima-pretima (niyasa Ida Bethara) ke laut.
Di tepi laut upacara dilaksanakan dengan menghaturkan banten suci ke hadapan Sanghyang Baruna, serta mohon tirta penglukatan/ pebersihan ke hadapan Gangga Dewi untuk pretima, prelingga, jempana, bangunan suci, alat-alat upacara, serta anggota masyarakat.
Upacara melasti ini dilaksanakan dua hari sebelum Nyepi (Sipeng)
2. TAHAP KEDUA (NYEJER DI PURA)
Sekembalinya dari melasti, pretima (niyasa Ida Bethara) di-stanakan di Pura. Di sini warga masyarakat mendapat kesempatan ngaturang ayaban serta mohon dianugerahi kesucian dan ketenteraman batin dalam menyambut Hari Raya Nyepi.
3. TAHAP KETIGA (PECARUAN TAWUR KESANGA)
Dilaksanakan oleh Tri Sadaka di perapatan agung. Hari itu tepat Tilem Chaitra (Kesanga).
Tujuan pecaruan adalah untuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam (Trihitakarana = tiga sebab yang menjadi baik).
Caru yang digunakan:
  • di tingkat Propinsi: Tawur Agung
  • di tingkat Kabupaten: Panca Kelud
  • di tingkat Kecamatan: Panca Sanak
  • di tingkat Desa: Panca Sata
  • di tingkat Banjar: Eka Sata
  • di rumah masing-masing warga:
    • di Pamerajan menghaturkan kepada Ida Bethara peras, ajuman, daksina, ketipat kelanan, canang lenga wangi, burat wangi, bija beras kuning
    • di natar Pamerajan menghaturkan kepada Sang Bhuta Kala segehan nasi cacah 108 tanding, ulam jejeroan mentah, segehan agung, tetabuhan arak/ berem/ tuak/ toya anyar
    • di pintu masuk halaman rumah nanceb sanggah cucuk dengan banten daksina, jauman, peras, dandanan tumpeng ketan, sesayut, panyeneng, janganan
    • di bawah sanggah cucuk segehan agung, segehan manca warna 9 tanding, olahan ayam brunbun, tetabuhan arak/ berem/ tuak/ arak/ air.
Setelah itu semua keluarga natab beakala, prayascita, sesayut lara melaradan, lalu melaksanakan pangerupukan.
Acara terakhir adalah ngelinggihang pretima Ida Bethara kembali ke palinggih semula (nyineb).
4. TAHAP KEEMPAT (SIPENG)
Melaksanakan Catur Brata Penyepian: Amati Agni, Amati Karya, Amati Lalanguan, Amati Lelungaan.
  1. Amati Agni, artinya tidak menyalakan api secara skala, dan api secara niskala, yaitu marah, nafsu sex dan pikiran kotor lainnya.
  2. Amati Karya, artinya tidak melaksanakan kerja fisik agar dapat melaksanakan tapa, berata, yoga, samadi.
  3. Amati Lalanguan (langu=indah, asyik, mempesona), artinya tidak menikmati keindahan atau sesuatu yang mengasyikkan seperti nonton TV, mendengar lagu-lagu, main judi, ceki, main catur, bergurau sambil tertawa, dll.
  4. Amati Lelungaan, artinya tidak bepergian keluar rumah karena melaksanakan tapa, berata, yoga, samadi.
5. TAHAP KELIMA (NGEMBAK AGNI)
Keesokan harinya sejak jam 06.00 melepaskan Brata Penyepian, dan melaksanakan Dharma Shanti.
6. TAHAP KEENAM (BETHARA TURUN KABEH)
Jatuh pada Purnama Kadasa, yaitu 14 hari setelah Sipeng. Pada hari ini Ida Sanghyang Widhi Wasa turun di Besakih diiringi oleh segenap manifestasi Beliau sebagai Dewa-Dewi.
Ida Sanghyang Widhi Wasa turun ke Besakih karena Bhuana Agung dan Bhuana Alit sudah “bersih” lalu memberkati umat manusia untuk menikmati kehidupan yang lebih baik di tahun yang akan datang.
Di saat ini warga Hindu berduyun-duyun datang ke Besakih menghaturkan sembah bakti serta mohon panugerahan.
———————————–
Itulah urut-urutan pelaksanaan Hari Raya Nyepi. Rangkaian itu merupakan satu kesatuan dan tidak dapat diputar balik karena makna atau tattwa-nya akan tidak mencapai sasaran.
Pandita belum menemukan sumber sastra yang menyatakan bahwa melasti dilaksanakan saat Purnama Kadasa.
Dengan berpikir bijaksana saja, sulit mencari jawaban, kenapa sudah melaksanakan berata penyepian, padahal Bhuana Agung dan Bhuana Alit masih leteh (kotor); di samping itu, di saat Bethara Turun Kabeh di Besakih, mereka yang melasti tentu tidak dapat tangkil ke Besakih; bagaimana?
Di Desa Adat Buleleng, selama ratusan tahun dilaksanakan melelasti pada Purnama Kadasa.
Ini adalah Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta. Kuna Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah diwarisi sejak dahulu; Desa Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di suatu Desa; Loka Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan yang diyakini oleh sekelompok orang.
Dresta itu dimulai ketika Buleleng dipimpin oleh Raja I Gusti Anglurah Panji Sakti. Beliau adalah putra Dalem Seganing, raja Gelgel beribu Ni Luh Pasek, putri Ki Pasek Gobleg.
Beliau kesatria sejati dengan naluri perang dan politik ekspansi yang tinggi. Buleleng mencapai zaman keemasan karena berhasil menundukkan Blambangan, Pasuruan, Jembrana, dan Mengui.
Beliau lalu “show of force” atau pamer kekuatan ke arah selatan Bali dengan memancing kemarahan Raja Tabanan dan Badung. Caranya agak unik, yaitu merusak palinggih-palinggih di Pura Batu Karu yang disakralkan oleh Badung dan Tabanan. Untung upaya itu tidak berlanjut karena terjadi pro-kontra di kalangan pasukan “Taruna Goak”.
Akhirnya Beliau menyerang Badung, terjadi pertempuran yang dahsyat di Taensiat; dalam perang ini tidak ada yang kalah atau menang. Sementara itu Raja Gelgel, Dalem Di Made di-kup oleh I Gusti Agung Maruti.
Raja-Raja di Bali mendapat peluang untuk berdiri sendiri tidak tunduk lagi kepada Dalem di Gelgel. Kebiasaan lama menghaturkan upeti tahunan ke Gelgel terhenti.
Di masa lalu para Raja terlebih dahulu bersembahyang ke Besakih pada Purnama Kedasa, sebelum menghadap “kaisar” Raja Gelgel. Walaupun Dalem Di Made masih saudara tiri Panji Sakti, beliau tidak bereaksi apa-apa ketika kudeta itu terjadi; mungkin masih merasa dendam karena dianaktirikan dahulu.
Di saat itu Panji Sakti sangat ditakuti oleh Raja-Raja Bali, karena kesaktian dan kekuatan pasukan tempurnya yang dilengkapi gajah-gajah hasil jarahan ke Blambangan.
Jika saja beliau tidak ingat dengan ramalan Ki Panji Landung, mungkin saja Bali Selatan dikuasai beliau. Ketika itu Panji Sakti memutuskan untuk seterusnya tidak menyerahkan upeti ke Gelgel, dan juga tidak tangkil ke Besakih pada Purnama Kedasa; sebagai dalih diadakan upacara melis saat Purnama Kedasa.
Dresta sebagai peninggalan politik militer Panji Sakti seperti yang diuraikan di atas kiranya kini perlu dikaji karena tidak sesuai lagi dengan desa-kala-patra, dalam hal ini “kala” yang berarti waktu-nya sudah berbeda.
Melis sebelum Penyepian serta rangkaian upacara seperti diuraikan di atas sesuai dengan sastra Agama, logis, dan sudah dibakukan dalam Keputusan Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Tahun 1984 dan Keputusan Seminar Kesatuan Tapsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu tahun 1988, tentang Hari Raya Nyepi.
Keputusan-keputusan itu menjadi pedoman yang seharusnya ditaati oleh umat Hindu di mana pun berada, karena PHDI adalah Lembaga Tertinggi Umat Hindu.

Thursday, March 10, 2011

DRESTA


Ulasan Singkat Mengenai Dresta

Ada empat jenis Dresta, yaitu: Kuna Dresta, Desa Dresta, Loka Dresta, dan Sastra Dresta. Arti sebenarnya dari Dresta yang ditulis dalam kamus Bahasa Kawi Prof. Drs. S. Wojowasito: drsta = terlihat, kelihatan, sudah dilihat.
Kuna Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan sudah diwarisi sejak dahulu.
Desa Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan berlaku di suatu wilayah tertentu.
Loka Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini oleh sekelompok orang.
Sastra Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini berdasarkan kebenaran Weda, Wedangga, dan Upaweda.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta adalah kelompok Dresta yang tidak berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena itu ketiga Dresta itu terkena pengaruh: desa, kala, patra; artinya bisa tidak kekal atau dapat berubah, dan tidak universal.
Sastra Dresta berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena itu Sastra Dresta tidak terkena pengaruh: desa, kala, patra; artinya kekal atau tidak dapat berubah, dan universal.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta lahir dari perjalanan sejarah, sedangkan Sastra Dresta lahir dari wahyu Ida Sanghyang Widhi Wasa dan anumana pramana para Maha Rsi.
Sang Sadaka (Pandita) dan Pemangku dalam swadarma-nya sebagai pengabdi utama Ida Sanghyang Widhi Wasa senantiasa berpedoman pada Weda, Wedangga, dan Upaweda. Oleh karena itu tidak bijaksana bila berpedoman pada Kuna Dresta, Desa Dresta dan Loka Dresta.
SUMBER: PANGGILAN WEDA, DRS. WAYAN SADYA, YAYASAN DHARMA SARATHI, JAKARTA 1992asa senantiasa berpedoman pada Weda, Wedangga, dan Upaweda. Oleh karena itu tidak bijaksana bila berpedoman pada Kuna Dresta, Desa Dresta dan Loka Dresta.
SUMBER: PANGGILAN WEDA, DRS. WAYAN SADYA, YAYASAN DHARMA SARATHI, JAKARTA 1992