Friday, October 28, 2011

PENGABENAN SEDERHANA DENGAN BIAYA MURAH


Upacara Pengabenan Swasta Agni Nandang Mantri
1. PENDAHULUAN
Pengabenan Swasta Agni adalah pengabenan sederhana dengan biaya rendah yang sangat dianjurkan kepada masyarakat dewasa ini.
Dalam menyelenggarakan upacara yadnya dikenal ada tiga tingkatan upacara, yaitu: Utama, Madya, dan Kanista; masing-masing tingkatan itu dibagi lagi menjadi tiga tingkatan sehingga menjadi: Kanistaning Utama, Madyaning Utama, dan Utamaning Utama, demikian seterusnya sehingga sebenarnya seluruh tingkatan itu menjadi sembilan.
Pemilihan tingkatan-tingkatan itu diserahkan kepada Sang Yajamana (penyelenggara upacara) tergantung dari: Desa, Kala, Patra. Yang dimaksud dengan Desa adalah keadaan tempat sekitarnya, misalnya penyelenggaraan upacara di kota dengan pedesaan berbeda karena fasilitas penunjang yang berbeda.
Yang dimaksud dengan Kala adalah waktu yang tersedia bagi persiapan penyelenggaraan upacara. Yang dimaksud dengan Patra adalah tersedianya dana atau materi untuk upacara yadnya.
Walaupun upacara diselenggarakan secara Kanista, tidaklah berarti makna sujud bakti serta nilai yadnya lebih rendah dari yang tingkat Madya atau Utama; yang terpenting adalah upacara itu diselenggarakan dengan tulus ikhlas dari hati nurani yang suci nirmala.
Kutipan Bhagawadgita Bab IX sloka ke-26 sebagai berikut:
PATRAM PUSHPAM PHALAM TOYAM, YO ME BHAKTYA PRAYACHCHHATI, TAD AHAM BHAKTYUPAHRITAM, ASNAMI PRAYATATMANAH
artinya: siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Dengan demikian Weda telah memberikan peluang kepada manusia untuk menyelenggarakan yadnya sesuai dengan kemampuan materi masing-masing, tidak dipaksakan dengan menjual harta atau berhutang sehingga memberatkan preti sentana di kemudian hari.
Pengabenan dalam bentuk upacara Swasta Agni adalah pengabenan tingkat Kanista. Dasar pijakan sastranya adalah Lontar Yama Purana Tattwa. Selain itu pada Paruman Sulinggih di Campuhan, Ubud, bentuk pengabenan Swasta Agni telah disyahkan.
Pengabenan dalam bentuk ini dapat dilaksanakan untuk jenazah baru atau watangan dalam artian tidak mungkah/ ngebet, karena pengabenan ini tidak menggunakan tetukon (tetukon = sesuatu yang di-”tuku” = dibeli, yaitu: pisang jati, paguruyagan, gegutuk, dan angenan sebagai simbol badan manusia/ jenazah).
Sebabnya tidak menggunakan tetukon karena jenazah itulah yang diwujudkan sebagai tetukon. Dalam istilah lain pengabenan ini termasuk kelompok sawa preteka, bukan asti wedana.
2. TATA CARA/ URUT-URUTAN UPACARA
Di Rumah:
  1. Membersihkan/ memandikan sawa: mabeakala, maprayascita, masiram, magentos pengangge.
  2. Memasang kwangen, buku-buku, ngeringkes, ngalelet, munggah ke Bale sawa.
  3. Dihaturi saji menurut kesenangan dari sang lina ketika hidup, lalu preti sentana mebakti.
  4. Sawa diusung ke setra, dan di perempatan agung dikelilingkan “meprasawya” tiga kali.
Di Setra:
  1. Di gerbang kuburan, sawa “mapepegat” memakai caru pengadang-adang.
  2. Di pamuunan sawa maprasawya tiga kali, dihaturi caru tedun sawa, yaitu: suci asoroh, caru ekasata brunbun, ajengan akedengan, seterusnya sawa diletakkan di pamuunan.
  3. Di atas dada sawa diletakkan banten: suci satu soroh, daksina peras ajuman, panjang ilang lebeng matah, nasi angkeb, bubuh pirata, ajengan akedengan, canang 7 tanding, beras 4 warna, jinah 225, rurub kajang kawitan. Kemudian Ida Pandita mapuja, lalu mere resik dengan padudusan alit jangkep pesolsolan: di banten-banten ayaban, adegan sang lina, preti sentana, dan kula gotra semua.
  4. Adegan sang lina: mapetik, merajah, masirowista, mabija, metapak oleh Ida Pandita.
  5. Adegan sang lina diletakkan diatas dada sawa lanjut preti sentana maperas.
  6. Memercikkan tirta-tirta ke sawa: pelukatan, pebersihan, penembak, pangentas, piuning, paibon, merajan sesuunan, kahyangan tiga, dan surya.
  7. Preti sentana mebakti.
  8. Ngeseng sawa dengan cita agni dari Ida Pandita.
  9. Sementara ngeseng sawa, preti sentana ngaturang sesolahan dengan doa semoga arwah sang lina menuju sorga loka dengan gembira.
  10. Setelah api padam, preti sentana pengarep memercikkan tirta panyeeb sebelas kali; tirta itu dibuat oleh Ida Pandita. Dihaturkan caru geblagan.
  11. Nyepit abu tulang 9 kali dimulai dari kaki/ bawah 3x, tengah-tengah 3x dan atas 3x.
  12. Nguyeg abu tulang dengan tebu hitam, bergantian oleh semua preti sentana, tua/ muda, besar/ kecil, laki/ perempuan semua ikut aktif.
  13. Ngreka abu berbentuk manusia, dilengkapi kwangen secukupnya.
  14. Menghaturkan pebersihan dengan banten beakala, prayascita, dan dius kamaligi diiringi puja Ida Pandita.
  15. Abu tulang yang sudah mabersih, dimasukkan kedalam kelungah kelapa gading lalu dihiasi.
  16. Preti sentana ngaturang jinah seadanya sebagai bekel kepada sang Pitara.
  17. Ida Pandita ngaskara, diiringi putru pengaskaraan. Banten pekiriman: suci galahan 2 soroh, ayaban teben jangkep, dius kamaligi jangkep, tarpana, nasi angkeb, panjang ilang lebeng matah, bubur pirata, ajengan akedengan, panebusan. Sang Pitara ngayab bekel/ banten.
  18. Persembahyangan:
    • Sembah puyung, menyatukan pikiran kepada Sanghyang Atma/ Ida Sanghyang Widhi Wasa.
    • Sembah dengan bunga putih kehadapan Siwa Raditya sebagai Sanghyang Paramaatma
    • Sembah dengan bunga merah kehadapan Ida Bethari Dalem Mrajapati
    • Sembah dengan bunga warna-warni/ kwangen kehadapan Ida Bethara Kawitan dan Bethara-Bethari semua.
    • Sembah menggunakan kwangen kehadapan Sang Pitara, kemudian kwangen disatukan dengan adegan Sang Pitara.
    • Matirta, mabija,
    • Sembah puyung, parama shanti.
  19. Bangun, mundur 3 langkah, lalu mapurwa daksina 3x terus mapepegat, terus menuju ke segara untuk nganyut abu.
  20. Nganyut abu dengan suci 2 soroh, lalu ngulapin dan nebus dengan suci 2 soroh dan banten penebusan, nyegara gunung dengan suci 1 soroh, nangkilang Pitara di Pura Dalem dengan banten suci galahan satu soroh dan caru manca warna.
Di Piyadnyan:
  1. Macaru eka sata dengan ayam brunbun, mapengalang, dan mapepegat dengan banten masing-masing: pengalang-alang, dan papegatan.
  2. Metatah bagi preti sentana yang belum metatah.
  3. Ngangget don baingin.
  4. Ngajum sekah.
  5. Sekah: mamendak, muspaang sekah, mapedudusan, merajah, mapetik, mekarowista, metapak.
  6. Ngelinggihang sekah di Piyadnyan.
  7. Narpana sekah dengan banten catur sasahan (alit), bebangkit dan suci sari, dipuja oleh Ida Pandita dan diiringi pembacaan Putru saji sekah.
  8. Pemuspaan oleh preti sentana, dilanjutkan dengan matirta, mabija.
  9. Sekah diperciki tirta-tirta: pelukatan, pebersihan, pasupati, pemralina.
  10. Mralina sekah.
  11. Memercikkan tirta panyeeb.
  12. Nguyeg abu sekah, terus dimasukkan kedalam kelapa gading, lalu dihias.
  13. Mabeakala dan maprayascita.
  14. Bangun, mapurwa daksina, terus ke segara nganyut sekah.
Catatan:
Banten-banten untuk nyekah sama seperti penyekahan biasa hanya bilangan/ jenis bantennya lebih disederhanakan.
Di Segara:
Setelah nganyut, ngulapin, terus nyegara gunung, dan pulang menuju ke Sanggah Pamerajan. Banten yang digunakan sama dengan ketika nganyut abu.
Di Sanggah Pamerajan:
Mepaingkup, bantennya: suci 2 soroh, daksina peras ajuman, saji 1 soroh, segehan aperancak.

No comments:

Post a Comment