Thursday, March 27, 2014

PERLU KETETAPAN HATI MENERAPKAN CATUR WARNA



Perlu Ketetapan Hati Menegakkan Catur Warna
Oleh : Ketut Wiana,
Sesungguhnya permasalahan Catur Warna tidak begitu mementingkan adanya bhisama dari Sabha Pandita PHDI Pusat. Karena menurut ketentuan Manawa Dharmasastra XII.108 sampai dengan 114 bahwa yang patut dibhisamakan oleh Brahmana Sista yang duduk di Parisada adalah hal-hal (dharma) yang belum jelas dinyatakan dalam kitab suci. Mengenai filosofi dan konsepsi Catur Warna sesungguhnya sudah sangat jelas dalam kitab suci maupun kitab-kitab susastranya. Karena tradisi kasta yang bertentangan dengan ajaran Catur Warna demikian dalamnya masuk ke dalam tradisi umat Hindu maka banyak pihak mengusulkan agar pengertian Catur Warna yang benar menurut kitab suci dibhisamakan. Langkah ini semata-mata untuk lebih menegaskan bahwa apa yang diajarkan dalam kitab suci mengenai Catur Warna itulah yang benar.
MELURUSKAN kesalahpahaman tentang terpelesetnya ajaran Catur Warna (Varna) menjadi kasta dalam masyarakat Hindu membutuhkan ketetapan hati dan kesabaran yang ekstra. Mengapa demikian, karena mengubah hal-hal yang sudah demikian mentradisi tidak begitu mudah. Meskipun tradisi tersebut sudah jelas-jelas memanipulasi umat Hindu demikian lama.
Sesungguhnya sudah banyak kemajuan yang telah terjadi untuk membali ke sistem Catur Warna. Pesamuhan Campuhan yang menghasilkan Piagam Campuhan tahun 1961 sudah menetapkan bahwa setiap umat Hindu yang memiliki kemampuan sesuai dengan ketentuan sastra suci Hindu boleh madwijati menjadi pandita/sulinggih. Jadi sistem kepanditaan umat Hindu sejak tahun 1961 sudah mulai berubah. Ini artinya pesamuhan para pandita se-Bali dalam Pesamuhan Agung Parisada tersebut sudah menetapkan langkah yang sangat strategis untuk mengembalikan sistem warna dan menghilangkan dampak negatif tradisi wangsa. Karena tradisi wangsa hanya menetapkan hanya wangsa tertentu saja boleh menjadi pandita. Meskipun untuk menegakkan ketetapan itu sungguh tidak mudah, berbagai hambatan banyak bermunculan. Yang juga sering menghambat tegaknya keputusan itu justru banyak juga datang dari oknum-oknum penguasa.
Dengan berbagai dalih sering mereka tidak mendudukkan pandita setara. Perbedaan justru dimunculkan dengan berbagai alasan yang dicari-cari dan tidak realistis, sehingga melanggengkan ketegangan dan konflik fi tingkat umat. Padahal PHDI lewat Mahasabha II tahun 1968 sudah menetapkan bahwa semua dwijati itu setara. Menghadapi hambatan ini memang sangat dibutuhkan ketegaran, ketetapan hati dan kesabaran yang prima untuk mencegah jangan sampai terjadi revolusi sosial yang tajam.
Swami Satya Narayana menyatakan bahwa pada zaman Kali tidak baik menegakkan kebenaran dengan kekerasan. Berbicara boleh saja keras tetapi tidak dengan cara kasar, lebih-lebih menggunakan cara-cara brutal. Berbicara keras dalam artian kuat memegang prinsip dan tabah menghadapi berbagai hambatan, meyakini kebenaran pasti menang (Satyam Eva Jayate).
Kuat memegang prinsip, mempunyai ketetapan hati, tabah menghadapi berbagai hambatan dan sabar menunggu perubahan, merupakan senjata yang paling tepat digunakan untuk mengubah tradisi yang sudah bertentangan dengan ajaran Hindu.
Perlu Ketabahan
Mengembalikan tegaknya ajaran Catur Warna kembali dibicarakan dalam Pesamuhan Agung PHDI di Mataram 2002 ini. hal ini sebagai bukti bahwa umat Hindu masih sebagian besar memiliki ketetapan hati dan kesabaran untuk menegakkan ajaran Catur Warna yang sudah berabad-abad diplesetkan menjadi sistem kasta oleh sejarah masa lampau.
Penetapan hal ini oleh Sabha Pandita PHDI Pusat menjadi bhisama tentunya membutuhkan waktu yang cukup panjang lagi untuk mensosialisasikannya. Itu jika tidak ada oknum maupun kelompok yang ikut bermain untuk menghalang-halangi upaya tersebut. Hambatan-hambatan lain pasti akan terjadi namun apabila ketetapan hati umat terus-menerut ditingkatkan, tentu akan membuahkan hasil. Lebih-lebih apabila didukung ketabahan untuk menyadarkan mereka yang masih dalam kegelapan pemahaman karena mendapatkan keuntungan sosial dan ekonomi dari sistem yang bertentangan dengan pelencengan ajaran Catur Warna itu.


BHISAMA SABHA PANDITA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : /Bhisama /Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang
PENGAMALAN CATUR WARNA
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Hyang Widhi Wasa
Pesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Menimbang:
  1. Bahwa Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Bhisama sesuai dengan Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia yang ditetapkan dalam Maha sabha VIII tahun 2001 di Denpasar, Bali. 
  2. Bahwa Catur Vama adalah ajaran tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat berdasarkan "guna" (bakat) dan "Karma" (kerja) yang sesuai dengan pilihan hidupnya. 
  3. Bahwa di dalam sejarah perkembangan agama Hindu telah terjadi penyimpangan pengertian ajaran tentang Catur Varna menjadi Kasta atau Wangsa yang berdasarkan atas kelahiran (keturunan/keluarga) seseorang. 
  4. Bahwa untuk meluruskan pemahaman dan pengamalan Catur Warna yang menyimpang selama ini, maka dipandang perlu menetapkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna tersebut  
Mengingat :
  1. Ketetapan Mahasabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Tahun 2001 Nomor: 1/Tap.M.Sabha/VIII/ 2001 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parisada Hindu Dharma Indonesia.
  2. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Nomor: II/TAP/M.Sabha/VIII/2001 tentang Program Kerja Parisada Hindu Dharma Indonesia
Memperhatikan :
Usul-usul Sabha Walaka dan hasil pembahasan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 26-27 Oktober 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT TENTANG PENGAMALAN CATUR VARNA SESUAI DENGAN KITAB SUCI VEDA DAN SUSASTRA HINDU LAINNYA
Pertama: Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas "guna" dan "Kama" dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa.
Kedua: Bhisama tentang Pengamalan Catur Vama ini sebagai pedoman yang sepatutnya dipatuhl oleh seluruh umat Hindu.
Ketiga: Menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna ini, beserta penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.
Keempat: Apabila ada kekeliruan dalam Bhisama ini akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Kelima:  Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Bhisama ini disampaikan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk dilaksanakan.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
Dharma Adhyaksa                                                               Wakil Dharma Adhyaksa

Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa               Ida Pandita Mpu Java Dangka Suta Reka
Lampiran
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Pengamalan Catur Vama
 PENGAMALAN CATUR VARNA
A. Latar Belakang.

Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia.
Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalain bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat Hindu semakin keras untuk kembali ke ajaran Catur Varna, oleh karena itu dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia bulan September 2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang Catur Warna ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan diskusi-diskusi. Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat Hindu. 

Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali kepada sistem Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem Wangsa. Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk mengembalikan secara bertahap agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu menuju pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhur dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa itu sendiri. Sistem Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran Hindu yang benar dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari. Seperti sistem penghormatan dalam pergaulan sosial/adat-istiadat. 

Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam swadharmanya memimpin upacara tidak memandang dari asal usul Wangsa seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita sudah lepas dari ikatan Wangsanya.
B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda
Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam kitab Brahma Purana 228.45.Dharma artha kama moksanam sarira sadanam, artinya: badan (Sarira: Sthula, Suksama dan Antakarana Sarira) hanya dapat dijadikan sarana untuk mencapai Dhanna, Artha, Kama dan Moksa. Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap. Dalam Agastya Parwa dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai secara bertahap menurut Catur Asrama. Tahap hidup Brahmacari diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahap hidup Vanaprastha dan Sannyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa.
 Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan hidup (Catur Asrama) itu dibutuhkan empat jenis profesi yang disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang. Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci, Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari lengan Brahman,Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya Brahman. Jadi semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna ini memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau sudah mentaati swadharmanya masing-masing.

Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas bahwa untuk menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadinya yang menentukan " Varna" seseorang adalah profesinya bukan berdasark-an keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber "varna" Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber " varna" Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra.

Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak diperkenankan menjadi Dvijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki kemampuan rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma seorang Dvijati adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat. Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci Veda semua Varna berhak dan boleh mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan dengan jelas dan tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2.

Vama seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya menjadi seorang Brahmana, seperti halnya Rawana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi yang terpandang, namun Rawana bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa bemama Hiranya Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang tidak ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
C. Menegakkan sistem Catur Varna.

Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:

 1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai "metode pembinaan umat Hindu" yang telah ditetapkan dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Santi.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal " Wangsa"nya.
3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha" (memercikkan air suci) umat diajak untuk membiasakan menerima "Siratan Tirtha" (percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat resmi yang patut mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara "Matur Piuning" di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama.
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara "Pawiwahan" (perkawinan) karena mempelal berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi), orang tua sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa. 
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya saling harga-menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya.

 Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan kepada umat Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama Hindu di atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan tetap terpelihara dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu tetap memelihara adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang disebut Satya Dharma.

   
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
Dharma Adhyaksa                                                                            Wakil Dharma Adhyaksa

Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa                                   Ida Pandita Mpu Java Dangka Suta Reka
 

No comments:

Post a Comment